Serba Serbi Tunisia
Trending

Metode Lauh di Bani Kheddache, Tunisia

PCINU Tunisia – Pada Kamis, 6 Juni lalu, langkah kaki kami membawa ke daerah tenggara Tunis, Kegubernuran Mednin. Ditemani oleh dua sahabat, Fajar Fayaro dan Hadi Wijaya. Kami menjelajahi perjalanan menuju Madrasah Tahfidz al-Qur’an, membawa tekad untuk meresapi dan menghafal al-Quran di tempat yang jauh dari ibu kota Tunis.

Madrasah ini berlokasi di desa Bani Kheddache, terletak di sebelah barat kota Mednin dengan jarak 36 km. Perjalanan melalui jarak 506 km dari kota Tunis ke kota Bani Kheddache bukanlah perkara ringan. Namun, semangat belajar yang membara dan rasa ingin tahu kami tentang lingkungan baru, berhasil mengatasi segala rintangan, mengusir lelah yang menyergap hingga kami sampai.

Desa Bani Kheddache merupakan salah satu desa tertua di Tunisia. Tempat ini juga sebagai akses ke kawasan padang pasir tenggara Tunisia. Namun, di balik warisan sejarah itu, desa ini juga menjadi panggung kedamaian, dihuni oleh sekitar 25.885 jiwa yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama, spiritualitas dan mengamalkan akhlak yang luhur. Takjubnya, walaupun minimnya fasilitas internet dan perlengkapan kebutuhan yang seadanya, kami merasa seperti di rumah sendiri dalam suasana yang dekat dengan warga sekitar.

Setelah melihat realitas pedesaan, saya merasa yakin atas pernyataan Ibnu Khaldun, pemikir besar bidang sosiologi, yang diabadikan dalam bukunya “Muqaddimah” mengenai hal ihwal orang-orang pedesaan.

Ibnu Khaldun mengatakan, “Orang-orang yang hidup dalam keterbatasan di pedalaman atau pun di perkotaan, lebih cenderung memiliki keagungan dalam spiritualitas dan lebih rajin dalam beribadah, jika dibandingkan dengan mereka yang hidup dalam kemewahan. Nyatanya, di antara mereka yang memiliki kekokohan dalam spiritualitas dan kesederhanaan, kita menemukannya di daerah pedalaman yang dihuni oleh warga sederhana.”

Seperti di desa Bani Kheddache terkenal sebagai penjaga al-Qur’an yang mengagumkan, seolah menjadi tempat kelahiran para penghafal al-Qur’an yang semakin menambah gemerlapnya sinar spiritualitas. Metode klasik dalam menghafal al-Quran yang kami temukan di sini adalah metode Lauh. Metode inilah yang memikat hati kami, mengajak kami untuk berkenalan dan belajar dari Lauh, suatu metode yang menuntut untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur’an di atas papan atau kayu.

Tradisi menuliskan ayat-ayat al-Quran di atas batu, kayu, atau papan, seperti layaknya warisan kuno di Afrika, masih kokoh berdiri hingga saat ini. Juga, dianggap sebagai salah satu metode yang populer di Tunis. Anak-anak belajar menulis al-Qur’an di atas papan atau kayu. Setelah tulisan dalam papan dihafal, ia pun akan dihapus dan digantikan dengan tulisan baru, dan begitulah seterusnya, hingga 30 juz terhafal dengan lancar.

Dalam menuliskan ayat al-Qur’an, papan sebagai perantara untuk menghafal, di mana keagungan makna dan pesan-pesan suci itu akan meresap. Metode ini bukan hanya sekadar metode, ia telah diwariskan secara turun temurun dan dianggap memiliki dimensi spiritual tersendiri.

Sejak usia dini, anak-anak dididik untuk menghafal surat-surat pendek melalui papan. Bagi mereka yang belum mampu menulis, guru akan membantu untuk menuliskan ayat-ayat yang harus dihafal. Kemudian, mereka akan membacanya berulang-ulang hingga hafal.

Walaupun metode Lauh dianggap merepotkan, ternyata metode ini dianggap sebagai metode yang efektif dan mutqin. Akan tetapi, setiap metode menghafal al-Qur’an memiliki kelebihan dan kekurangannya. Yang terpenting, metode apapun yang ditempuh dalam menggapai al-Quran itu memiliki tujuan yang sama yaitu menjaga dan merawat Kalamullah, al-Qur’an.

Abbas Harahap

Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button