Kolom

Hijab dalam Kacamata Thahir Haddad

PCINU Tunisia – Berbicara mengenai hijab, dalam Islam perempuan muslimah identik dengan pakaian untuk menutupi aurat. Akan tetapi, hijab masih banyak menimbulkan perdebatan berkaitan dengan pemakaiannya, batasan-batasannya, hingga penggunaanya dalam konteks sosial. Karena tradisi hijab yang ada di Timur Tengah bukan murni muncul dari Arab, tapi tradisi yang sudah lama ada dari Persia kemudian menyebar ke Negara-negara Arab.

Banyak dalam kasus lain, hijab menjadikan perempuan tidak dapat leluasa untuk beraktivitas. Di Tunisia misalnya, perempuan dibebaskan untuk mengenakan pakaian apa saja yang mereka kehendaki, berhijab maupun tidak.

Semua itu tidak terlepas dari pengaruh ide kebebasan dan kesetaraan hak-hak perempuan yang digagas oleh pemikir dan pembaharu di Tunisia, seperti Thahir Haddad. Bahkan, materi-materi pemikirannya berpengaruh kepada undang-undang hukum keluarga di Tunisia yang dihimpun dalam Majallat al-Ahwal al-Syakhshiyyah.

Tahir Haddad bukan lagi nama yang asing bagi telinga masyarakat Tunisia. Ia merupakan seorang cendekiawan dan reformis Tunisia lahir pada tahun 1899-1935. Mulanya, Haddad belajar agama di kuttab, menghafal Al Quran, kemudian belajar ilmu-ilmu agama di Ta’lim Zaituny dan lulus pada tahun 1920.

Pendidikan yang ia terima tidak lantas membuatnya puas dan merasa cukup. Haddad sadar bahwa pendidikan yang ada di Tunisia, khususnya di Zaituny cenderung konservatif, maka perlu adanya perubahan atau pembaharuan yang lebih modern.

Akhirnya, Haddad terus menggali pengetahuan lalu lahirlah gagasan-gagasan yang ia tuangkan dalam beberapa majalah dan surat kabar. Ia mengajak masyarakat untuk bersama memerangi kemunduran, kebodohan dan kediktatoran penguasa.

Berkat kegigihan Haddad sebagai seorang pemuda yang semangat dalam menyuarakan pembaharuan, Haddad dapat menarik hati Syekh Abdul Aziz As-Tsa’alabi, seorang tokoh pembaharu Tunisia. Ia mendirikan Partai Destour dan menuangkan gagasan-gagasan pembaharuannya dalam beberapa karya. Salah satu karyanya yang populer ialah Ruh Al Taharrur fi Al-Qur’an.

Dalam hal inilah, Haddad bergabung dalam partai Al-Hizb Al-Hurr Al-Dusturiy (Parti Libre Destourien) partai politik besar pertama yang mempelopori gerakan nasional Tunisia. Sejak tahun 1920 sampai 1930.

Hijab Menurut Thahir Haddad

Melalui bukunya Imroatuna fi al-Syariah wa al-Mujtama’, Haddad dikenal sebagai sosok yang mendukung kesetaraan hak perempuan, karena perempuan di negaranya tidak benar-benar mendapatkan kebebasan.

Gagasan Haddad dalam bukunya Imroatuna sebenarnya terinspirasi dari para feminis Muslim di era dahulu, seperti Qassim Amin atau Rif’at Tahtawi. Ia menyuarakan kesetaraan gender, emansipasi perempuan Tunisia, serta menentang poligami.

Namun, salah satu Pembahasan yang paling kontroversial adalah masalah tentang ajakan melepas hijab. Pembahasan ini Ia tuangkan dalam bab tersendiri, yakni Bab Sufur, perempuan yang meninggalkan hijabnya atau melepasnya.

Menurut Haddad, hijab merupakan penghalang kemajuan perempuan, Haddad menilai hijab sebagai tradisi bangsa Arab, bukan murni ajaran Islam laisa hukman min ahkami al-din. Ketika perempuan berhijab maka akan menghalangi mereka dalam berpendidikan, bekerja, dan melakukan aktifitas lain di luar rumah.

Pandangan Haddad dalam hal ini tampak sejalan dengan pandangan al-Tsa’alabi dalam buku Ruh al Taharrur fi al-Qur’an di atas. Haddad diterima publik sebagai ajakannya kepada kaum perempuan untuk melepaskan hijab.

Perzinaan maupun kemaksiatan yang ada, tidak muncul karena banyaknya perempuan yang tidak berhijab. Melainkan karena akhlak yang buruk, maka dari itu, bisa dihilangkan melalui pendidikan yang baik, kata Haddad.

Dan di bagian akhir ini, Haddad kembali mengingatkan untuk tidak terlalu fokus membahas permasalahan hijab. Sementara masih ada hal-hal esensial lain yang perlu diperhatikan untuk mencapai reformasi, yaitu pendidikan untuk perempuan.

Pada akhirnya, di Tunisia banyak perempuan yang tidak menggunakan hijab, bahkan, menjadi suatu hal yang biasa. Karna di negara ini sangat menjujung kebebasan berpendapat dan memperbolehkan masyarakatnya mengambil atau tidak beberapa gagasan yang berbeda.

Najmi Nuril Kamilia Suganda, Mahasiswi Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button