Kolom

Belajar dari Dua Ulama Perempuan Tunisia dan Kontribusinya Membangun Peradaban

PCINU Tunisia – Pernahkah Anda mendengar kisah seorang perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya demi menjaga kemurnian agamanya? Atau seorang wanita yang pantas dipuji karena kepemimpinannya yang cerdas dan pemikirannya yang progresif?

Kedua sosok tersebut dapat kita temukan pada dua ulama perempuan Tunisia. Mereka adalah Khadijah binti Sahnun dan Ummu Malal. Dua ulama dan pemimpin terkemuka pada masanya, yang berkontribusi dalam membangun peradaban Tunisia melalui keahlian dan pemikirannya.

Khadijah binti Sahnun

Khadijah binti al-Imam Abdussalam Sahnun bin Sa’id at-Tanukhi dilahirkan di Kairouan, Tunisia tahun 160 H. Ia sosok perempuan ahli agama dan politik yang cerdas, putri bungsu dari Imam Sahnun, seorang Hakim Mahkamah Agung dan ahli fikih mazhab Maliki, pengarang kitab “Al-Mudawwanah” yang hingga kini menjadi rujukan utama fikih Maliki.

Sejak kecil, Khadijah telah dianugerahi kecerdasan dan ketajaman berfikir. Hal itu juga didukung dengan lingkungan keluarga yang cinta keilmuan. Khadijah tidak hanya ditempa untuk paham ilmu agama namun juga ditanamkan karakter bijaksana, santun dan rendah hati yang membuatnya menjadi ulama yang menyenangkan di hati masyarakat.

Keluasan ilmu pengetahuan dan wawasannya tidak lantas membuatnya menikmati ilmu itu sendiri, ia justru berfikir bahwa perempuan harus mendapat pendidikan selayaknya kaum pria, agar derajat dan kualitasnya ditinggikan. Baginya, generasi yang baik dan unggul akan mampu dilahirkan oleh seorang ibu yang terdidik dan berkarakter.

Menyikapi persoalan itu, Khadijah rutin mengadakan forum-forum dan kajian di rumahnya yang dihadiri oleh perempuan-perempuan di masa itu. Gerakan Khadijah ini memberikan dampak positif, memberi pemahaman kepada para perempuan mengenai persoalan agama dan peran mereka dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendapat Khadijah pun seringkali menjadi rujukan para masyarakat dalam mengambil keputusan. Kepiawaiannya dalam mengambil keputusan untuk suatu perkara membuatnya dijuluki sebagai mufti perempuan. Hal tersebut diakui oleh Ayahnya, Imam Sahnun, yang tak jarang meminta pendapatnya ketika akan memutuskan suatu perkara.

Khadijah memutuskan untuk tidak menikah seumur hidupnya, kecintannya terhadap ilmu menyibukkannya untuk terus belajar hingga Ia menghembuskan nafas terakhirnya di penghujung tahun 270 H dan dikebumikan di Kairouan, di samping makam ayahnya.

Ummu Malal

Tokoh perempuan lain yang tak kalah inspiratif adalah Ummu Malal. Dia adalah satu-satunya perempuan yang pernah menjabat sebagai pemimpin Afrika Utara pada Abad Pertengahan. Ia hidup pada masa dinasti Sanhajiah yang sedang berada pada masa kejayaannya, meskipun tidak jarang beberapa pemberontak berusaha menggulingkan kekuasaan dinasti tersebut.

Dididik dalam lingkungan dinasti yang sering terjadi ketegangan, menjadikan dirinya sebagai perempuan yang kritis dan unggul dalam kancah politik. Tak heran jika ia kerap dimintai pendapat mengenai keputusan politik pemerintahan dinasti saat itu, terutama pada masa pemerintahan saudaranya Badis bin Mansur. Ia juga sering membantu saudaranya mengatur pemerintahan dan politik ketika Badis fokus pada pemberontakan yang sedang berlangsung.

Ummu Malal meninggal pada tahun 414 H karena penyakit yang dideritanya. Keponakan yang ia rawat dan didik, Muiz bin Badis, menyembelih lima puluh ekor unta, seratus sapi dan seribu  kambing serta membagikan sepuluh ribu dinar kepada masyarakat, khususnya kepada wanita-wanita lanjut usia. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk rasa cintanya kepada tantenya yang telah membesarkannya menjadi anak yang cerdas dan tajam dalam berfikir serta pemimpin yang dibanggakan atas prestasi dan pencapaiannya.

Tidak hanya Muiz yang menuangkan bentuk kesedihannya, lebih dari 100 orang penyair membuat syair ratapan kesedihan tentang kepergian seorang perempuan hebat dan tangguh. Ummu Malal kemudian dimakamkan di Mahdiah dan kemudian dipindahkan ke Maqbaroh Umara Sanhajiah di Monastir atau yang lebih di kenal dengan pemakaman Sayyidah.

Dua sosok besar perempuan di atas, Khadijah binti Sahnun dan Ummu Malal, merupakan potret yang membuktikan eksistensi perempuan di bidang ilmu pengetahuan dan politik. Ketekunan dan kepiawaian mereka masing-masing turut menyumbang pencerahan peradaban yang bisa kita petik saat ini.

Belajar dari Khadijah yang memilih tidak menikah seumur hidup, seharusnya mampu menjadi pengingat kita untuk terus fokus mengabdikan diri kepada keilmuan. Bukan untuk mengikuti jejaknya yang memilih tidak menikah, namun mengikuti kecintaannya, ketakdzimannya pada ilmu, guru dan orang tua. Pilihan untuk tidak menikah bisa kita ubah sebagai keharusan untuk tetap fokus pada belajar tanpa memikirkan hubungan percintaan di waktu yang bukan seharusnya, karena saat ini kita masih berada di proses pengembaraan ilmu pengetahuan.

Belajar dari sosok Ummu Malal, perempuan juga harus menjadi sosok yang mandiri, yang tangguh, kritis dan berani. Berani berpendapat, berani mengambil keputusan dan berani memimpin. Sudah bukan masanya perempuan bersembunyi di balik kalimat “Arrijaalu qowwamuuna ‘alaanisaa”, sudah bukan masanya juga perempuan mengaungkan konsep-konsep feminisme ala barat karena kini saatnya perempuan beraksi, menunjukkan eksistensi dan ketangguhannya sebagai “sosok perempuan” itu sendiri.

Kedua potret ulama perempuan tersebut adalah sebuah gambaran yang sarat akan makna, yang mengajak kita sebagai pelajar di negeri seribu peradaban untuk terus mencari, terus membenahi diri dan terus menjadi para perempuan yang lebih baik lagi, lebih dari mereka, karena kita hidup di generasi yang sudah sangat maju, baik secara fasilitas maupun akal dan pemikiran.

Nurhayyu Ratu Nadiyya Putri Syami, Mahasiswi Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button