Kolom
Trending

Respon Islam Terhadap Masyarakat Multikultural di Indonesia

PCINU Tunisia – Tak bisa dipungkiri, di setiap manusia pasti mempunyai egosentris diri. Hal ini yang membuat seseorang merasakan superioritas, baik tentang dirinya maupun peradabannya. Pandangan membuat manusia menilai dari perspektif dirinya sebagai sumber utama dan tidak melihat dari sumber yang lain sebagai objek penilaian, kemudian pandangan ini menjadi hukum yang bersemayam dalam diri manusia.

Maka jelaslah, ketika seseorang merasakan superioritas peradabannya, sementara itu dalam keadaan dominasi perasaan ini dikaitkan dengan kecenderungan eksplisit untuk membenci yang lain yang bukan miliknya dan meremehkan nilai-nilai di dalam peradaban lain, bahkan menganggap selain dari mereka adalah anti peradaban. Tentu ini mempunyai efek negatif dalam peradaban yang notabene masyarakat multikultural, terlebih jika dibenturkan dengan agama.

Konteks permasalahan ini tentu banyak terjadi antar umat beragama, khususnya di Indonesia. Masyarakat multikultural telah menjadi ciri khas bangsa, lebih khusus pada masyarakat Indonesia. Peran agama secara konstruktif akan membuat ikatan agama menjadi lebih ketat, bahkan sering melebihi ikatan darah dan hubungan nasab atau keturunan. Maka karena agama, sebuah komunitas atau masyarakat akan hidup dalam kerukunan dan kedamaian yang utuh dan bersatu.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bagaimana keadaan masyarakat manusia yang multikultural dalam Surat Al-Hujurat ayat 13:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ibnu Asyur menafsirkan bahwa dalam ayat ini menunjukkan perpindahan kewajiban berintraksi sosial pada kewajiban melindungi diri sendiri, dan seruan ini diulang untuk lebih memperhatikan tujuan ayat ini. Jika setiap golongan mengakui kelebihan-kelebihan golongan lain dan mengunggulkan kaumnya sendiri atas yang lain adalah bentuk fasisme jahiliyah.

Lalu, bagaimana respon Islam terhadap masyarakat multikultural di Indonesia?

Ibnu Asyur mendefinisikan makna agama adalah sebagai jalan menuju kebenaran. Di dalam buku Ushūl al-Nidzām al-Ijtimā’i fi al-Islam menuliskan agama adalah seperangkat ajaran yang dikehendaki Pencipta agar menjadi kebiasaan dan watak sekelompok orang agar dapat menggugah dalam dirinya kebajikan, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain.

Agama, khususnya Islam dapat berfungsi sebagai faktor motivasi (pendorong untuk bertindak yang benar, baik, etis, dan maslahat), profetik (menjadi risalah yang menunjukan arah kehidupan), kritik (menyuruh pada yang maruf dan mencegah dari yang mungkar), kreatif (mengarahkan amal atau tindakan yang menghasilkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain), intergratif (menyatukan elemen-elemen yang rusak dalam diri manusia dan masyarakat untuk menjadi lebih baik), sublimatif (memberikan proses penyucian diri dalam kehidupan), dan liberatif (membebaskan manusia dari berbagai belenggu kehidupan).

Menurut Gus Dur, Islam dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya mempunyai wilayah tumpang tindih. Islam bersumberkan wahyu dan memiliki norma-norma sendiri, maka ia cenderung permanen. Sedangkan budaya adalah buatan manusia dan berkembang sesuai perkembangan dan cenderung berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.

Saat pertama kali Islam menginjak bumi Nusantara sudah terlebih dahulu berdiri Kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha, di samping itu juga sudah sejak dahulu bumi Nusantara mempunyai lapisan budaya yang sangat beragam. Maka, dalam menghadapi masyarakat yang kompleks dan plural, dibutuhkan pendekatan-pendekatan, salah satunya adalah pendekatan kultural untuk dapat mengatasi heterogenitas dan problem-problem di lapisan masyarakat Indonesia, terutama dalam menghadapi objek dakwah.

Dalam menjalankan dakwah para mubaligh menggunakan media kebudayaan, seperti kesenian, kesusastraan, tembang-tembang, sebut saja para Walisongo yang kita ketahui menggunakan wayang sebagai media dakwah, menyisipkan unsur-unsur Islami dalam plot cerita Mahabrata, seperti unsur Aqidah, tasawuf, akhlaq, ibadah dengan mempersonifikasikan para tokoh pandawa lima dengan rukun Islam, dan banyak peninggalan sastra seperti hikayat-hikayat yang tersebar di tanah melayu.

Dalam masyarakat modern, multikulturalisme lebih kompleks lagi. Sebab budaya baru terus bermunculan akibat akses komunikasi dan informasi yang tak terbendung. Saat terjadi pertemuan antara globalisasi negara-bangsa (nationstate) dan kelompok identitas maka kemunculan dari kelompok-kelompok identitas ini semakin menguat. Hal ini menjadi atmosfer baru dalam dinamika kehidupan beragama.

Kedatangan Islam ke Indonesia yang merespon kebudayaan dan mengingat lapisan masyarakat Indonesia yang beragam membuat Islam dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Dalam konteks sekarang, yang dikhawatirkan adalah fitnah-fitnah yang mengkambinghitamkan agama dalam memecah keutuhan Indonesia sehingga hilangnya rasa percaya antar umat agama di masyarakat. Dan bagaimana peran agama dalam menjaga kepercayaan antar masyarakat?

Hadi Wijaya, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah dan Pengurus LTNU PCINU Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button