Kolom

Abu Nashr Al-Farabi, Filosof Muslim yang Pandai Bermusik

PCINU Tunisia – Dalam sejarah kemajuan dan perkembangan peradaban Islam tentu tidak akan lepas dari para tokoh besar agama, ilmuwan, dan budayawan. Salah satu sejarah peradaban Islam yang menarik untuk diulas adalah sejarah peradaban Dinasti Abbasiyah.

Dunia Islam pada masa itu menjadi pusat pengetahuan dunia, lahir banyak tokoh yang membidangi berbagai Ilmu, salah satunya Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Al-Uzalagh atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi.

Al-Farabi lahir pada tahun 259 H/872 M di Wasij, sebuah kota di Farab, Kazakhstan. Panggilan Al-Farabi diambil dari nama kota kelahirannya, kota Farab. Ibunya merupakan wanita kelahiran Turki yang disunting oleh ayahnya pada saat menjadi komandan Turki berkebangsaan Persia.

Di Eropa ia dikenal dengan Alpharabius atau Avennasr sebagai seorang tokoh filosof Islam dari kebangsaan turki. Selain itu, Al-Farabi juga sering dijuluki sebagai ‘Guru Kedua’ setelah Aristoteles ‘Guru Pertama’ dalam bidang filsafat.

Sejak kecil Al-Farabi sudah menunjukkan kecerdasan dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia dikenal sebagai anak yang sangat gemar belajar dan gigih. Hingga ia memiliki kemampuan di atas anak pada umumnya terutama dalam bidang bahasa.

Kemampuannya di bidang bahasa ia dapatkan dari Abu Bakar As-Saraj di Baghdad, ia berguru dan mendalami ilmu nahwu (tata bahasa Arab) juga sastra arab. Bahkan di masa mudanya, ia juga sudah menyelami ilmu filsafat dan logika kepada seorang Kristen Nestorian bernama Abu Bisyr Mattius ibn Yunus dan Yuhana ibn Hailam.

Sehingga ia dikenal seorang filosof Islam yang mampu memahami, menjabarkan, dan mengkomparasi filsafat Yunani Klasik Plato dan Aristoteles dengan filsafat Islam. Tak hanya itu, ia juga berusaha untuk membuatnya bisa dimengerti dalam konteks agama-agama wahyu.

Saat menempuh pendidikan, Al-Farabi pernah melakukan perjalanan ke Harran yang merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil dan belajar ilmu filsafat. Namun, tidak lama ia kembali ke Baghdad untuk lebih mendalami ilmu Filsafat. Selama Al-Farabi di Baghdad, Ia juga mulai aktif dalam menulis karya, beberapa karyanya yang terkenal adalah Ihṣa al-‘Ulum, Mabadi’ Ara’ Ahlul Madinah Al-Fadhilah, Kitab fi al-Mantiq al-Khithabah, Al-Siyasah al-Madaniyyah.

Kematangan Al-Farabi dalam menguasai ilmu filsafat ditunjukkan melalui ulasan Aghrad ma Ba’da al Thabi’ah dan al-Jam’u Baina Ra’yai al Hakimain yang mempertemukan serta mengulas pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.

Selain menjadi filosof, Al-Farabi juga menekuni di bidang musik, ia sangat lihai dalam bermusik. Bahkan Al-Farabi disebut sebagai musikus terbesar dalam sejarah Islam dan menjadi komponis dalam berbagai irama musik.

Kontribusi Al-Farabi dalam bidang musik dibuktikan dengan Kitabnya Al-Musiqi Al Kabir yang membahas ilmu dasar tentang musik dan menjelaskan mengenai alat-alat yang dapat mengeluarkan suara indah.

Kitab Al-Musiqi Al Kabir atau The Great Book of Music ini diterjemah ke dalam bahasa latin dan dipelajari di berbagai sekolah musik Eropa. Teori-teori musik Al-Farabi berpengaruh besar pada perkembangan musik Eropa kontemporer.

Bagi Al-Farabi musik adalah sebuah alat terapi karena musik dapat menenangkan batin, mendatangkan perasaan nyaman, menyembuhkan penyakit yang mengganggu pikiran, mampu membangkitkan spiritualitas, dan bagi para pendengarnya mereka  berhasil dibuat tertawa, menangis, bahkan tertidur atas alunan musik indah yang dimainkan oleh dirinya.

Bukan hanya seorang cendekiawan yang mahir dalam filsafat, Al-Farabi juga dikenal dengan kesederhaannya, hal ini dibuktikan ketika Al-farabi memilih pindah ke Damaskus, tepatnya di tahun 330 H, di saat usianya menginjak 75 tahun. Di Damaskus Ia bertemu seorang Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo yang bernama Saif Ad-Daulah Al-Hamdani dan diterima baik oleh penguasa Hamdan.

Ia diberi tunjangan yang sangat besar oleh Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, tetapi Al-Farabi menolaknya dan memilih hidup sederhana layaknya para sufi kebanyakan. Di setiap harinya, ia hanya mengambil empat dirham dan sisa tunjangan yang dimilikinya diberikan kepada fakir miskin di Aleppo Damaskus. Dari sinilah ia dikenal dengan kedermawanannya.

Al-Farabi meninggal di Damaskus, Syiria pada umur 80 tahun. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa sepanjang hidupnya Al-Farabi membenamkan seluruh yang ia miliki dalam lautan ilmu sehingga ia tidak dekat dengan para penguasa Bani Abbasiyah pada saat itu.

Najmi Kamilia Suganda, Mahasiswi Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button