Kajian

MENYAMBUNG HATI DENGAN NABI

Aku adalah pelayan Quran sepanjang ku hidup. Dan aku adalah debu tanah di mana kaki Muhammad menapak. – Rumi

PCINU Tunisia – Kata di atas adalah penggalan dari puisi Maulana Jalaludin Rumi, seorang sufi besar asal Persia yang dimakamkan di Konya, Turki. Al-Qur’an dan Nabi, tidak bisa dipisahkan. Jika kita ingin mengetahui bagaimana perangai Nabi, bacalah al-Qur’an. Kāna khuluquhu al-Qur’an begitu dalam Hadis.

Senada dengan itu, K.H. Mufid Mas’ud berkata “Al-Qur’an di tangan kanan, sholawat di tangan kiri” perkataan ini bukan berarti menempatkan selawat pada sisi yang buruk -tangan kiri- tetapi maksudnya adalah saling berdampingan antara al-Qur’an dengan ketersambungan hati kita kepada Nabi dalam hal ini dengan membaca selawat.

Menurut Habib Ali al-Jifri dalam buku Ayyuhal Murid mengatakan Ulama-ulama kita sebelum membaca al-Qur’an, membaca buku, mengajar ilmu selalu menghadiahkan surah al-Fatihah kepada Nabi. Suatu ketika Imam Malik bin Anas sedang meriwayatkan Hadis, tiba-tiba wajah beliau memerah karena tersengat kalajengking, beliau tetap melanjutkan membaca hadis.

Begitupun dengan Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam sebuah cerita dinyatakan bahwa beliau tidak menulis satu hadis dalam iḥyā ‘ulum al-dīn, kecuali beliau mengofirmasi langsung kepada Nabi. Padahal Nabi sudah wafat. Bagaimana beliau berjumpa dengan Nabi yang mana sudah wafat beratus tahun lamanya? Apakah Nabi masih mengajarkan hadis kepada beliau?

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 151 :

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

Artinya : “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kepadamu), Kami pun mengutus kepadamu seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.

Prof. Nasarudin Umar dalam sebuah ceramahnya menjelaskan bahwa kata yu’allimukum adalah fi’l muḍāri’ yang salah satu faidahnya adalah al-istimrār atau terus menerus. Fi’l muḍāri’ juga mempunyai dua zaman ḥāal (sekarang) dan istiqbāl (mendatang). Artinya, meskipun Nabi Muhammad SAW telah wafat tapi dalam dimensi lain beliau tetap hidup senantiasa tetap mengajarkan kepada kita apa yang belum kita ketahui, yu’allimukum ma lam takūnu ta’lamūn.

Agar kita senantiasa mendapat pelajaran dari Nabi sebagaimana ulama-ulama terdahulu, salah satu kuncinya adalah bersambungnya hati kita kepada Nabi Muhammad Ṣallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu bagaimana cara agar hati kita bersambung kepada Nabi?

Membaca al-Qur’an

Membaca al-Qur’an seperti dagangan yang tak pernah rugi, satu huruf dibalas dengan sepuluh kebaikan, yang terbata-bata dibalas dengan dua pahala, pahala belajar dan pahala membaca, yang lancar akan dikumpulkan bersama dengan malaikat Safarah al-kirām al-bararah. Bacalah al-Qur’an dengan tartil tidak terburu-buru, memerhatikan hak-hak huruf, tajwid, berhenti dan memulai seakan-akan Nabi menyimak bacaan kita. Jika mampu, sembari berfikir dan mentadabburi ayat-ayat yang dibaca.

Membaca hadis Nabi Muhammad S.A.W

Seperti kisah Imam Malik di atas, membaca hadis Nabi berarti berbicara dengan Nabi, melihat perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi. Bacalah hadis Nabi seperti kita berbicara dengan Nabi, dengarkan hadis Nabi dengan khusyuk dan penuh penghormatan seperti kita mendengar perkataan Nabi secara langsung. Kita berbicara kepada orang yang dihormati dengan penuh persiapan, kita mendengar petuah orang yang dihormati dengan penuh perhatian, bagaimana akhlak kita kepada hadis Nabi? Apakah lebih baik, atau sebaliknya?

Akhir-akhir ini kita seakan alergi dengan hadis da’if, seakan bahwa itu bukan sebuah hadis yang harus dimuliakan. Para ulama berpendapat bahwa hadis da’if itu bisa diamalkan dalam rangka faḍā‘il al-a’mal. Beda halnya dengan hadis mauḍu’ yang tidak boleh diamalkan. Jika kita berhati-hati dalam perkara dunia, maka kita tinggalkan perkara yang belum jelas kebenarannya, tetapi jika dalam perkara akhirat maka bentuk kehati-hatian kita adalah menjalankan anjuran dari Nabi, meskipun sumbernya lemah, selagi bukan palsu maka para ulama membolehkan.

Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW adalah sosok agung sepanjang zaman. Namanya bahkan sudah dikenal sebelum beliau dilahirkan di dunia. Perjalanan kisahnya terus dikenang bahkan sampai 14 Abad setalah kewafatan beliau. Banyak buku yang ditulis tentang pribadi agung ini, dari yang tipis, sampai berjilid-jilid. Bacalah buku-buku itu, hadirkan Nabi dalam kehidupan sehari-hari kita, apakah kita bisa meneladani kehidupan Nabi?

Dalam buku maulid yang masyhur dibaca masyarakat kita, terdapat sebuah kisah bahwa Nabi adalah Syadīd al-ḥayā‘ wa tawaḍu’ orang yang sangat pemalu dan tawadlu’, apakah kita bisa meneladani itu di tengah zaman yang menuhankan popularitas, viral? Nabi juga yakhṣifu na’lahu mengesol sendalnya sendiri, yarqa’u ṡaubahu’ menjahit pakaiannya sendiri, yaḥlubu syātahu memerah kambingnya sendiri, dan wa yasīru fi khidmati ahlih melayani keluarganya. Artinya, Nabi adalah orang yang mandiri, tidak mau merepotkan sahabatnya dan para keluarganya. Padahal beliau adalah seorang Nabi, kepala keluarga bahkan kepala Negara di Madinah. Lalu bagaimana dengan kita?

Perihal Nabi yang diceritakan hidup miskin adalah sebuah pilihan beliau. Hikmahnya adalah untuk mengajarkan kepada kita zuhud tidak mencintai dunia, bukan mengajari kita untuk hidup faqir. Jika mau tentu Nabi sudah mengiyakan tawaran malaikat yang ingin mengubah gunung menjadi emas, tetapi beliau menolak itu. Cukuplah dunia berada di saku kita, bukan di hati kita.

Senantiasa Membaca dan Mendengarkan Selawat kepada Nabi

Dikisahkan bahwa Imam Bushiri pengarang qasidah burdah mengalami penyakit lumpuh, tidak bisa jalan, beliau menulis bait-bait pujian kepada Nabi, dan bertemu dengan Nabi, seketika penyakitnya hilang dan sembuh. Seperti kata pepatah, bahwa tanda orang cinta adalah sering menyebut nama yang dicintanya. Selawat adalah salah satu ekspresi cinta kita kepada Nabi dan salah satu cara menyambung hati dengan Nabi.

Perbanyaklah membaca selawat, terutama pada hari jum’at. Begitu kata hadis, pertanyaannya perbanyak itu berapa? Serratus? Dua ratus? Kata para Ulama perintah perbanyak membaca selawat adalah tidak kuang dari 300. Selawat juga mempunyai banyak ṣighat-nya baik yang ada dalam riwayat seperti selawat ibrahimiyah, atau selawat yang disusun para ulama seperti selawat munjiyat, tafrijiyah, dan lain sebagainya. Selawat mempunyai peran penting dalam ibadah kita. Menjadi rukun dalam salat, sebab dikabulnya doa, bahkan Ketika ibadah lain bisa gugur pahalanya karena ria, selawat tetap diterima meskipun riya, tentu kita tidak menginginkan ada riya dalam hati kita Ketika membaca selawat kepada Nabi Muhammad Ṣallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain membaca selawat, mendengarkan selawat juga bisa menjadi sebab tersambungnya hati kita kepada Nabi. Tradisi selawat berkembang pesat dalam masyarakat kita dan bisa merangkul semua golongan, pernahkah kita melihat anak kecil bernyanyi-nyanyi selawat sambil bermain? Bukankah ini suatu hal yang baik, artinya generasi kita tidak terputus hatinya dengan Nabi Muhammad S.A.W. Masa kecil kita mungkin ditemani dengan album cinta rasul dari hadad alwi dan sulis, masa remaja kita ditemani selawat dari langitan, dan sekarang semakin menjamur majelis selawat bahkan artis-artis dengan hidup yang glamor mengcover selawat di akun youtube mereka.

Langkah-langkah di atas adalah contoh kecil dari upaya kita menyambung hati dengan Nabi Muhammad S.A.W. Intinya adalah bagaimana usaha kita dalammenghadirkan Nabi dalam kehidupan kita, dalam setiap pilihan kita, dalam setiap gerak langkah kita, semoga kelak kita mendapat syafa’atnya kelak. Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa sahbih

Muhammad Tegar Syaekhudin, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button