Kolom
Trending

Poligami dalam Perspektif Islam

PCINU Tunisia – Poligami adalah perkawinan seorang pria dengan perempuan yang lebih dari satu istri pada waktu yang bersamaan. Perihal ini telah menjadi bahan diskusi yang mendalam dan kontroversial di seluruh dunia.

Di dalam Islam, poligami telah diterima sebagai bagian dari ajaran agama, meskipun dengan berbagai syarat dan pertimbangan etis nanketat. Dalam Al-Qur’an, Surat An-Nisa ayat 3, dinyatakan bahwa seorang pria boleh memiliki hingga empat istri, asalkan dia dapat memperlakukan mereka dengan adil.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”  [An-Nisaa/4: 3]

Namun, penting untuk mencatat bahwa poligami bukanlah sebuah praktek yang eksklusif bagi Islam. Praktik ini telah ada sebelum kedatangan Islam, bahkan di berbagai budaya dan agama lainnya, poligami sering kali dilihat sebagai bentuk keamanan ekonomi atau sosial bagi perempuan yang tidak memiliki dukungan atau proteksi penuh dari keluarga mereka.

Dalam sejarah Islam poligami seringkali dilakukan dengan alasan-alasan tertentu yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi di masa itu. Misalnya, dalam periode perang, banyak pria yang gugur, mengakibatkan meningkatnya jumlah Perempuan janda. Sehingga Poligami menjadi salah satu cara untuk memberikan perlindungan dan nafkah kepada perempuan-perempuan ini.

Meskipun demikian, kritik terhadap poligami juga banyak muncul, baik dari dalam maupun luar komunitas Muslim. Beberapa kritik berkaitan dengan potensi ketidakadilan terhadap perempuan, di mana beberapa dari mereka mungkin tidak mendapatkan hak-hak yang sama atau tidak mendapatkan perlakuan yang adil dari suaminya.

Dalam Al-Qur’an, pentingnya keadilan dalam memperlakukan istri-istri disebutkan berulang kali, menegaskan bahwa keadilan adalah syarat mutlak dalam praktek ini.

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِۗ وَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا 

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisaa/4: 129]

Selain itu, dalam beberapa konteks sosial dan budaya, poligami seringkali dikaitkan dengan penindasan perempuan. Pandangan ini, menjadi dasar bagi beberapa argumen yang menolak poligami. Namun, ada juga argumen yang menyatakan bahwa poligami, jika dilakukan dengan benar dan sesuai dengan ajaran Islam, dapat menjadi solusi untuk berbagai masalah sosial dan ekonomi dalam masyarakat.

Faktanya, tidak semua pria Muslim memilih untuk melakukan poligami. Karena banyaknya faktor, termasuk kondisi ekonomi, budaya, dan pribadi, yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk menikahi lebih dari satu istri. Bahkan di beberapa negara, poligami sangat dilarang, sementara di negara-negara lain, praktek ini diatur oleh hukum dan regulasi tertentu.

Tunisia misalnya, negara arab dengan populasi 99% mayoritas muslim ini tidak menerapkan syariat dibolehkannya poligami, bahkan melarang keras hal demikian. Tercantum pada pasal 18 Majalah ahwalussyakhsiyyah (Undang-undang Tunis) tahun 1956 tentang larangan poligami.

Larangan poligami tersebut tentu bukanlah praturan yang hanya sekedar dibuat-buat, namun adalah kebijakan para pendiri bangsa tunisia yang mempertimbangkan kondisi sosial untuk tercapainya kemashlahatan masyarakat dan negara.

Lantas apakah hukum poligami yang sesungguhnya ?

Para ulama berbeda pendapat perihal tersebut, kalangan Syafiiyah dan Hanbaliyah tampak menutup pintu poligami karena rawan dengan ketidakadilan sehingga keduanya tidak menganjurkan praktik poligami, bukan mengharamkan poligami. 

 ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَزِيدَ الرَّجُل فِي النِّكَاحِ عَلَى امْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ ظَاهِرَةٍ ، إِنْ حَصَل بِهَا الإِعْفَافُ لِمَا فِي الزِّيَادَةِ عَلَى الْوَاحِدَةِ مِنَ التَّعَرُّضِ لِلْمُحَرَّمِ ، قَال اللَّهُ تَعَالَى وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ، وَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “مَنْ كَانَ لَهُ امْرَأَتَانِ يَمِيل إِلَى إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ”…

“Bagi kalangan Syafiiyah dan Hanbaliyah, seseorang tidak dianjurkan untuk berpoligami tanpa keperluan yang jelas (terlebih bila telah terjaga [dari zina] dengan seorang istri) karena praktik poligami berpotensi menjatuhkan seseorang pada yang haram (ketidakadilan). Allah berfirman: “Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu menginginkan sekali.” Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.” (Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan 2002, juz 41, halaman: 220). 

Sementara, kalangan Hanafiyah menyatakan kemubahan praktik poligami dengan syarat calon pelakunya memastikan keadilan di antara sekian istrinya.

 وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ إِبَاحَةَ تَعَدُّدِ الزَّوْجَاتِ إِلَى أَرْبَعٍ إِذَا أَمِنَ عَدَمَ الْجَوْرِ بَيْنَهُنَّ فَإِنْ لَمْ يَأْمَنِ اقْتَصَرَ عَلَى مَا يُمْكِنُهُ الْعَدْل بَيْنَهُنَّ ، فَإِنْ لَمْ  يَأمَنْ اقْتَصَرَ عَلَى وَاحِدَةٍ لِقَولِه تَعَالَى فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

“Bagi kalangan Hanafiyah, praktik poligami hingga empat istri diperbolehkan dengan catatan aman dari kezaliman (ketidakadilan) terhadap salah satu dari istrinya. Kalau ia tidak dapat memastikan keadilannya, ia harus membatasi diri pada monogami berdasar firman Allah: “Jika kalian khawatir ketidakadilan, sebaiknya monogami.” (Wazaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, cetakan 2002, juz 41, halaman: 220). 

Kedua pendapat di atas sama-sama menitikberatkan nilai keadilan dan kemashlahatan umat tanpa mengharamkan praktek poligimi, sehingga dapat disimpulkan bahwa praktek poligami diatas hukumnya adalah mubah (dibolehkan). Hal ini senada dengan pernyataan Imam Ibnu Rusydi al-Qurtubi dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid Wanihayatul Muqtasid  juz 3 Hal. 900, cetakan Bairut tahun 2012 ;

واتفق المسلمون على جواز نكاح أربع من النساء معا, وذلك للأحرار من الرجال

  “Umat Islam sepakat bahwa dibolehkannya laki-laki merdeka menikahi empat perempuan secara bersamaan”

Terakhir, perlu diingat bahwa diskusi mengenai poligami dalam konteks Islam memerlukan pemahaman yang mendalam. Tidak ada pendekatan satu ukuran untuk memahami atau menilai praktek ini. Penting bagi kita untuk menghargai keragaman perspektif dan pengalaman dalam memahami bagaimana poligami diinterpretasikan dan dipraktekkan di berbagai komunitas Muslim di seluruh dunia. Dengan demikian, dialog yang konstruktif dan ilmiah tentang isu ini menjadi kunci untuk memahami nuansa dan kompleksitas poligami dalam Islam.

Penulis : Abbas Hamonangan Harahap, Mahasiswa Universitas az-Zaitunah, Tunisia

Abbas Harahap

Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Back to top button