Kolom
Trending

Ibnu Khaldun Berbicara Tentang Perdamaian

PCINU Tunisia – Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan bermasyarakat, karena dalam kedamaian itu tercipta dinamika yang teratur dan harmonis dalam interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup berdampingan, juga dapat melaksanakan pembangunan dalam bingkai perdamaian.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai budaya, etnis, suku, bahasa, bahkan agama lainnya. Kemajemukan merupakan keniscayaan, di satu sisi kemajemukan memberikan khazanah kekayaan bangsa sebagai pemersatu kekuatan, namun disisi lain justru berpotensi terhadap kehancuran bangsa karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok.

Sangat miris apa yang terjadi di Indonesia baru-baru ini, sering terjadi konflik yang disebabkan hanya karena perbedaan pemikiran, agama dan keyakinan. Di Surabaya misalnya, pembubaran kajian secara paksa yang berujung pertikaian. Ditambah lagi, fenomena-fenomena lain yang mengatasnamakan agama menjadi alat untuk legitimasi setiap tindakan kekerasan dan permusuhan dan merasa kelompoknya paling benar.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebutkan bahwa setiap manusia harus menjalin hubungan yang harmonis dengan yang lain, karena manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang senantiasa melakukan interaksi. Tanpa menjunjung tinggi nilai perdamaian, tentu yang akan terjadi adalah gesekan demi gesekan dengan pemeluk agama lainnya hanya karena sebab perbedaan.

Padahal, perbedaan dalam beragama adalah sebuah keniscayaan yang telah diterangkan Allah dalam QS. al-Kahfi ayat 29 yang berbunyi: “Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir…

Juga, adanya keberagaman agama dan golongan telah jelas diatur dalam QS. al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan kami menjadikan kamu beberapa bangsa dan beberapa suku bangsa. Supaya kamu saling mengenal satu sama lain

Dari ayat tersebut, asal usul manusia sesungguhnya dari seorang laki-laki dan perempuan yaitu adam dan hawa. Apabila kita menyadari hal ini, sesama manusia sesungguhnya adalah bersaudara, kemudian beranak-pinak menjadi berbangsa dan bersuku-suku. Karena itu, apabila ditarik kembali ke asal muasal penciptaannya, niscaya akan membangun kesadaran tentang esensi manusia.

Salah satu penyebab intoleransi agama yaitu persoalan pemahaman keagamaan yang tidak utuh. Pemahaman terhadap teks-teks agama yang tidak komprehensif hanya akan memberikan kesan kaku dalam mengamalkannya. Bahkan lebih jauhnya, akan menghasilkan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud teks itu sendiri.

Teks agama sering kali dipahami secara tekstualis tanpa memperhatikan adanya aspek-aspek lain yang berkolerasi dengannya. Dalam khidupan sosial, teks agama menjadi bagian terpenting dalam membangun tatanan yang harmonis dan toleran. Maka, dalil-dalil tersebut dibutuhkan kerja-kerja penafsiran yang mempunyai relevansi dengan konteks masyarakat pembaca.

Namun pada kenyataannya, perbedaan menjadi bencana terhadap eksistensi persaudaraan kita. Jika perbedaan tersebut direspon secara ekstrem dan hanya menuntut kebenaran sepihak. Maka yang terjadi adalah timbulnya pertikaian dan permusuhan. Padahal pada kenyataannya, perbedaan tersebut hanya terjadi pada persoalan-persoalan cabang bukan pokok.

Jika hal tersebut terus terjadi, akan berpotensi konflik di beberapa wilayah Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, berpengaruh terhadap turunnya pembangunan hingga kehancuran bangsa. Maka benar apa yang dikatakan Ibnu Khaldun, Ashabiyah (semangat solidaritas) memiliki peran penting demi terciptanya sebuah negara yang ideal, makmur, adil, dan damai.

Ibnu Khaldun mengategorikan hubungan sosial antar manusia adalah dharuri (tidak bisa ditinggalkan). Ia mengilustrasikan, dalam hal menghasilkan satu makanan saja, perlu adanya bantuan dari berbagai pihak. Mulai dari proses menanam, memanen hingga mengolahnya dalam bentuk siap saji. Satu kemampuan manusia saja tidak cukup untuk mencapai kebutuhannya.

Lebih lanjut, dalam menanggapi hal itu, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang bersosial (madaniyyun bi al-tab’i), berarti bahwa manusia tidak akan mampu menjalani kehidupan tanpa adanya bantuan dengan pihak yang lainnya.

Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan fithrahnya sebagai makhluk yang mengemban tugas khalifah fi al-ardl. Bahkan, suasana damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan sebuah tuntutan, karena dibalik adanya suasana damai itu menyimpan banyak kemaslahatan untuk mencapai kesejahteraan.

Ibnu Khaldun memberikan contoh konkrit bangsa dahulu seperti Qairawan dan Cordova. Dua bangsa tersebut sangat menekankan budaya toleransi dan interaksi sosial antar sesama. Kehidupan damai yang hampir tidak ditemukan konflik sosial apapun, menjadikan kedua bangsa tersebut menjadi bangsa yang maju dalam berbagai sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.

Maka, setiap manusia harus mampu menciptakan suasana damai, menjalin hubungan sosial yang baik antar sesama, dan saling menghargai antar kelompok masyarakat. Jika hal itu sudah terjadi, masyarakat akan gotong royong melakukan pembangunan untuk mencapai suatu kesejahteraan bersama.

Penulis : Muhammad Yusril Muna

Editor : Nuril Najmi Kamilia Suganda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button