Kolom

Fiqh Asal Tau

PCINU Tunisia – Sejatinya, mempelajari dasar-dasar hukum syari’at merupakan kewajiban bagi setiap individu. Peletakan bab materi yang ada dalam kitab-kitab klasik bukan hanya sekedar pajangan belaka. Hal itu sudah melalui perhitungan yang matang. Pengarang berharap bahwa para menuntut ilmu memahami makna tersirat yang ada dalam karya tulisnya. Walau karya-karya kitab klasik terkesan kaku ketika dibaca, namun masih banyak orang yang mengabaikan tuntunan sederhana yang ada dalam kitab tersebut.

Kita perlu sadar bahwa undang-undang dasar syari’at harus kita kuasai sebelum mempelajari hal-hal lain. Banyak yang berfikir mempelajari dasar-dasar syari’at merengut banyak waktu dan membuat perkembangan berfikir menjadi stagnan, karena dasar-dasar syari’at yang tertulis dalam kitab-kitab klasik juga dapat dikatakan sebuah doktrin yang tidak mampu untuk diperbaharui, kecuali oleh orang-orang yang memiliki derajat keilmuan yang sama.

Pola berfikir semacam itu, bagi saya, yang justru menghambat pertumbuhan diskusi ilmiah tentang undang-undang dasar syari’at. Ketakutan akan ketertinggalan menghantui pikiran untuk meloncat jauh dan meninggalkan materi-materi yang seharusnya sudah kita kuasai sejak kecil. Perbelotan amaliah dan ketidaktahuan tentang solusi yang harus diambil ketika berada dalam permasalahan sehari-hari membuat orang yang mengerti berfikir keras. Terlebih jika pelaku sudah tidak dalam usia remaja, yang masih pantas untuk kembali mempelajari modul dasar hukum syari’at.

Memang saya setuju, metodologi setiap tokoh dan sekolah berbeda-beda. Namun apakah tidak terfikirkan untuk membuat kurikulum yang berjenjang, sesuai dengan tingkatan materi kitab agar pengetahuan yang didapat juga maksimal. Seperti halnya yang dikatakan Ibnu Asyur dalam Kitab Alaitsa Subhu bi Qariib: fainnal khata’ al-ta’lim al-a’m khatharun adzimun ala al-ummati asyaddu min khatharin al-jahalah, bahwa kesalahan dalam sistem pembelajaran itu merupakan sebuah kesesatan yang besar melebihi kesesatan kebodohan.

Merupakan suatu hal yang menggelitik jika seseorang meraung-raung berbicara tentang keagamaan, namun dalam amaliah kesehariannya masih amburadul. Apakah pantas seseorang berbicara tentang halal-haram namun tatacara takbiratul ihram saja masih belum mengerti. Masih sering saya mendengar adanya justifikasi dari sebagian kalangan yang memilih satu jalan keilmuan, dan menganggap bahwa jalannya lah yang paling suci. Padahal, dengan adanya keberagaman jalan mempelajari satu jenis keilmuan dapat menjadikan kualitas keilmuannya semakin luas dan dapat berkolaborasi dengan seseorang yang memilih jalan yang bersebrangan.

Boleh saja ada yang tidak setuju dengan apa yang saya utarakan, namun kenyataan yang ada tidak dapat kita pungkiri. Target utama yang dimaksud bukanlah bagi orang-orang yang tidak hidup dalam lingkungan agama. Kita bisa membagi pekerjaan dengan mereka. Karena tokoh agama pun membutuhkan uang di setiap ceramahnya. Dan uang itu datang darimana lagi kalau bukan dari para pengusaha.

Tetapi, jika sedari awal kita hendak menguasai ilmu agama, alangkah lebih baiknya jika kita mempelajari kitab-kitab yang sesuai dengan tingkatannya. Bukankah menuntut ilmu tidak dibatasi oleh waktu? Yang menjadi perhitungan adalah ketakutan terhadap kekosongan kita pada pola belajar yang benar dan ketidaksabaran kita dalam menjalani suatu proses pematangan menjadikan kita mudah diracuni oleh kepentingan-kepentingan individual. Maka dari itu, saat ini waktunya mengganti pencarian YouTube yang semula berjudul “krisis keagamaan dalam perspektif ilmu politik” menjadi “bagaimana caranya duduk tahiat akhir yang benar.”

Penulis: Muhammad Robith Marzuban

Editor: Nuril Najmi Kamilia Suganda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button