Kolom

Baitul Hikmah, Mercusuar Intelektualisme Tunisia

Pendidikan merupakan investasi terbesar suatu bangsa untuk menciptakan masyarakat yang berperadaban. Melalui sistem pendidikan yang baik, akan terlahir masyarakat yang cerdas dengan kesadaran intelektual yang tinggi. Intelektualitas dan pemikiran yang berkembang sangat pesat menjadi ciri bahwa peradaban suatu bangsa sedang berada di puncak kejayaannya. Salah satu contohnya adalah Baitul Hikmah; lembaga pendidikan, penerjemahan dan pusat penelitian pada masa kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad, Irak.

Lembaga ini didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya dimasa kepemimpinan putranya, Khalifah Al-Ma’mun yang berkuasa pada 813-833 M. Dibawah kepemimpinan al-Ma’mun, observatorium didirikan, dan baitul hikmah telah menjadi pusat untuk studi humaniora dan ilmu pengetahuan yang terbaik pada abad pertengahan Islam, meliputi bidang matematika, astronomi, kedokteran, alkimia dan kimia, zoologi, geografi dan kartografi. Para ilmuwan disana mampu mengumpulkan koleksi pengetahuan dunia secara masif dengan mengambil berbagai literatur dari India, Yunani, dan Persia, dan berdasarkan itu semua mereka membuat penemuan-penemuan mereka sendiri.

Baitul Hikmah dianggap sebagai pusat intelektual dan keilmuan pada Zaman keemasan Islam (The golden age of Islam). Karena sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan. Lembaga ini merupakan salah satu institusi kunci dari berbagai literatur asing yang diterjemahkan dalam bahasa Arab dan dianggap sebagai jembatan besar dalam transfer ilmu pengetahuan pada masa zaman itu.

Namun ternyata, di Tunisia juga terdapat miniatur Baitul Hikmah yang bahkan sistemnya pun meniru konsep Baitul Hikmah yang ada di Baghdad. Didirikan pada akhir abad kesembilan di Kairouan, sebuah kota di bagian utara Tunisia dan merupakan ibukota dari Provinsi Kairouan. Kota ini terletak di selatan Sousse, 50 kilometer dari pantai timur atau 184 kilometer dari kota Tunis. Kota ini dibangun oleh orang Arab sekitar tahun 670 Masehi.

Pada periode Dinasti Umayyah, Kairouan menjadi pusat pendidikan Islam dan pembelajaran al-Quran sehingga menarik sejumlah besar Muslim dari berbagai belahan dunia untuk belajar disana. Kota ini juga menjadi pusat kebudayaan Islam dan bagian dari situs Warisan Dunia UNESCO. Kairouan merupakan simbol peradaban Islam di Afrika, karena merupakan kota pertama yang dibangun setelah kedatangan Arab-Muslim ke benua Afrika.

Seiring penaklukan Islam atas wilayah Afrika, Uqba bin Nafi’, panglima pasukan Islam menaklukkan Afrika Utara pada tahun 670 Masehi dan mendirikan kota Kairouan di Tunisia. Dia membangun kota itu dengan tujuan untuk menempatkan kaum Muslim guna menyebarkan Islam di Afrika. Oleh karena itu, kota Kairouan merupakan batu pijakan bagi sejarah peradaban Islam di barat Arab.

Uqba bin Nafi’ mengumpulkan semua penduduk Kairouan ketika pertama kali memasuki kota itu dan berkata kepada mereka, “Allah Swt telah memenuhi kota ini dengan para ulama dan fukaha dan menemukan kemuliaan dengan Islam. Ya Allah Swt, jauhkanlah kota ini dari penistaan dan fitnah.”

Sejak masa itu dan setelahnya, Kairouan terkenal sebagai kota yang maju, terutama pada era Dinasti Aghlabiyah dan menjadi pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kebanyakan pemikir dan ulama dari kota-kota seperti Baghdad, Kufah, Bashrah, dan bahkan Yunani datang ke kota itu untuk menimba berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dinasti Aghlabiyah memilih Kairouan sebagai ibukota dan berupaya maksimal untuk membangun kota itu. Kairouan telah menjadi pusat peradaban dan budaya dari masa ke masa.

Sebagaimana Cordoba di Andalusia dan Fas di Maroko, Kairouan juga termasuk pusat ilmiah pertama di Afrika yang memainkan peran kunci di bidang pengajaran dan pendidikan serta penyebaran ilmu agama. Diantara ciri khas kota tersebut adalah pembangunan Baitul Hikmah sebagai pusat penelitian dan pengetahuan serta menjadi tempat berkumpulnya para pemikir dan ulama besar dunia. Banyak kegiatan ilmiah terbentuk di tempat itu, bahkan Syeikh Sahnun ibn Said ibn Habib at-Tanukhi dan Malik ibn Anas serta mayoritas ulama lain mengenyam pendidikan disana.

Baitul Hikmah didirikan oleh Ibrahim II bin Ahmad al-Aghlabi (875-902 M), terinspirasi dari Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Harun al-Rashid. Pangeran Ibrahim II mendatangkan banyak cendekiawan dari berbagai bidang, seperti astronomi, kedokteran, botani, teknik, dan matematika, dari berbagai penjuru dunia Islam. Ia juga menyediakan peralatan astronomi yang canggih untuk para cendekiawan.

Setiap tahun, Pangeran Ibrahim II mengirim utusan ke Baghdad untuk menunjukkan kesetiaannya kepada Kekhalifahan Abbasiyah dan untuk mendapatkan buku-buku berharga tentang filsafat dan astronomi yang tidak tersedia di Maghreb. Ia juga mengundang cendekiawan ternama dari Irak dan Mesir untuk datang ke Baitul Hikmah.

Berkat usaha Pangeran Ibrahim II, Baitul Hikmah di Kairouan berkembang pesat dan menjadi miniatur dari Baitul Hikmah di Baghdad dalam waktu singkat. Namun, setelah beberapa tahun setelah kematiannya, Baitul Hikmah jatuh ke tangan Bani Abbasiyah.

Baitul Hikmah bukan hanya sebuah perpustakaan, tetapi juga sebuah institusi pendidikan tinggi untuk belajar, penelitian, dan penerjemahan dari bahasa Latin. Baitul Hikmah juga menjadi pusat penyalinan manuskrip. Para penjaga Baitul Hikmah bertanggung jawab untuk menjaga koleksi buku, menyediakan buku yang dibutuhkan para peneliti dan pelajar, dan mengatur administrasi Baitul Hikmah. Pemimpin para penjaga ini disebut “Shahib Baitul Hikmah”.

Orang pertama yang memegang jabatan Shahib Baitul Hikmah adalah seorang ahli matematika bernama Abu al-Yasar Ibrahim bin Muhammad al-Shaibani al-Katib, yang dikenal sebagai Abu al-Yasar al-Riyadi. Ia berasal dari Baghdad dan pernah bertemu dengan banyak ahli hadits, ahli fikih, sastrawan, dan ahli bahasa. Ia telah menjelajahi berbagai penjuru Timur Tengah sebelum akhirnya menetap di Kairouan.

Pangeran Ibrahim II juga sering mengadakan seminar dan perdebatan ilmiah di Baitul Hikmah dengan menghadirkan para ulama dari berbagai mazhab, yaitu Maliki, Hanafi, dan Muktazilah. Mereka sangat menghargai perbedaan dan keragaman pendapat, sehingga khazanah Islam mengalami kemajuan yang sangat luar biasa.

Baitul Hikmah memiliki banyak koleksi buku dan manuskrip tentang berbagai bidang ilmu pengetahuan, termasuk teologi, hukum, filsafat, sains, kedokteran bahkan alat-alat astronomi. Para cendekiawan dari seluruh dunia datang ke Baitul Hikmah untuk belajar dan mengajar. Baitul Hikmah juga menjadi tempat penerjemahan teks-teks dari bahasa Yunani dan Persia ke bahasa Arab.  

Baitul Hikmah memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di dunia Islam. Diantaranya adalah membantu melestarikan dan menyebarkan pengetahuan dari peradaban Yunani dan Romawi. Baitul Hikmah juga menghasilkan banyak cendekiawan terkemuka yang memberikan kontribusi penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Ahmad Thuwayli dalam Bayt al-Hikmah bi al-Qayrawan min al-‘Ahd al-Aghlabi ila al-‘Ahd al-Shanhaji mengisahkan tentang peran Baitul Hikmah perkembangan intelektualisme Islam. Nama-nama besar, seperti al-Jahidh, al-Mubarrad, Tsa’lab, Ibnu Qutaybah, Abu Tamam merupakan sosok-sosok yang turut mewarnai khazanah intelektual di Kairouan.

Namun, semua itu berakhir bersamaan dengan jatuhnya Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M. Baitul Hikmah di Kairouan juga mengalami kemunduran, karena tidak ada dukungan yang besar dari penguasa. Setelah invasi al-Hilaliyah, Baitul Hikmah dihancurkan dan buku-buku di dalamnya dibakar, sehingga Tunisia kehilangan khazanah yang sangat berharga di Kairouan.

Kini, nama Baitul Hikmah diabadikan sebagai salah satu pusat kajian di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni yang secara resmi bertempat di sebuah bekas istana kerajaan yang dibangun pertengahan abad ke-19, Istana Zarrouk. Terletak di samping pantai Mediterania, di dasar reruntuhan Kartago kuno. Akademi Baitul Hikmah didirikan pada tahun 1992 sebagai penerus Yayasan Nasional untuk Penerjemahan serta Pembentukan Teks dan Studi yang didirikan pada tahun 1983. Akademi ini direorganisasi dan dimulai kembali pada bulan Juli 2012.

Akademi Baitul Hikmah berfungsi sebagai tempat pertemuan bagi para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan bertukar gagasan serta pengalaman, berkontribusi pada pengayaan bahasa Arab, membantunya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan seni terkini, membantu menjaga warisan nasional melalui penelitian dan publikasi, menyusun kamus dan ensiklopedia serta menerjemahkan karya dari dan ke dalam bahasa Arab, menyelenggarakan simposium dan konferensi, mendorong kreativitas dan pendistribusian karya intelektual dan seni, serta memberi nasihat kepada pemerintah atau badan resmi.

Kesimpulannya, dapat kita garis bawahi bahwa pendidikan, intelektual, dan pemikiran sangat memegang peranan penting dalam keberlangsungan suatu peradaban. Pendidikan adalah tonggak gemilangnya peradaban suatu bangsa. Dengan sistem pendidikan yang berkualitas, bangsa dapat membangun generasi penerus yang cerdas, terampil, dan berkarakter. Hal ini yang akan melahirkan kesejahteraan dan kemajuan sebuah bangsa. Kairouan merupakan salah satu role model kejayaan peradaban Islam di masa lalu, hingga melahirkan Baitul Hikmah yang menjadi mercusuar intelektualisme dan pemikiran di Tunisia.

Penulis : Aqilah Firyal Haya, Mahasiswi Universitas Az-Zaitunah Tunisia dan Anggota LAKPESDAM PCINU Tunisia

Editor : Muhammad Yusril Muna

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button