Kolom

Urgensi Maqashid Syariah Dalam Dialog Lintas Agama ( Perspektif Al Jabiri ) Part I

PCINU Tunisia – Sejak munculnya magnum opus Syekh Thahir Ibn Ashur yang berjudul maqashid al-syari’ah al-islamiyah, maqashid syariah dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu yang independen, dimana sebelumnya ia hanya sebagai komponen mikro dalam bab ‘illah pada displin ilmu ushul al-fiqh (Dardur, 2015: 12).

Kemunculan kitab ini juga sebagai titik pijak kebangkitan disiplin maqashid syariah yang sebelumnya mengalami fase yang disebut oleh ‘Arif ben Masfar dengan marhalat al-jumud wa al-sukun (fase stagnasi) kurang lebih lima abad lamanya (8-13M) paska Syathibi dengan masterpiece-nya al-muwafaqat fi ushul al-syariah (Ben Masfar, 2016: 34).

Hingga abad ke-21 ini, disiplin maqashid syariah terus berkembang dan bertransformasi sedemikian rupa hingga seolah menobatkan dirinya sebagai salah satu cabang ilmu keislaman yang paling relevan untuk menjawab tantangan zaman. Terbukti saat ini, para peneliti dan pengkaji keislaman di berbagai bidang turut menggunakannya sebagai pendekatan atau cara pandang untuk memecahkan kejumudan warisan pemikiran dan penafsiran ulama terdahulu.

Salah satunya adalah apa yang dikampanyekan oleh seorang pemikir Islam prolifik asal Maroko, Muhammad Abed al-Jabiri. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis media cetak mingguan “Al-Ayyam” di Maroko, al-Jabiri dengan tegas mengatakan bahwa pentingnya menggunakan maqashid syariah sebagai pijakan dalam dialog lintas agama.

Menurutnya, terdapat satu tujuan utama dibalik seluruh perintah dan larangan dari agama-agama samawi, yaitu kemaslahatan manusia dan kemaslahatan kemanusiaan. Itulah mengapa –masih menurut al-Jabiri- Tuhan mengutus para Rasul sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, padahal Tuhan bersifat maha kuasa dan tidak butuh kepada sesuatupun (ghaniyyun ‘an al-‘alamin). Hal itu semata-mata karena para Rasul ditugaskan untuk menjelaskan tujuan utama tersebut kepada sesama seluruh umat manusia.

Jika dicermati, inilah esensi dari disiplin maqashid syari’ah itu sendiri. Selaras dengan apa yang dikatakan Ibn Ashur dalam maqashid al-syariah al-islamiyyah-nya, bahwa al-syarai’ kulluha ja’at lima fihi salah al-basyar (syariat diturunkan seluruhnya adalah untuk kemaslahatan manusia).

Dharuriyyat al-Khamsah Sebagi Pondasi

Dalam media cetak mingguan itu, al-Jabiri lebih jauh menegaskan mengenai nilai-nilai universal yang pasti dimiliki oleh semua agama samawi. Nilai-nilai itu di dalam Islam disebut dengan maqashid al-syari’ah atau tujuan-tujuan utama dibalik pemberlakuan syariat di muka bumi ini.

Lebih spesifik lagi, di dalam maqashid syariah terdapat tiga tingkatan, maqashid dharuriyyat, maqashid hajiyyat dan maqashid tahsiniyyat. Maqashid dharuriyyat inilah yang kemudian ia sebut sebagai nilai-nilai yang disepakati dan pasti dimiliki oleh semua agama samawi. Sedangkan dua lainnya memiliki perbedaan, karena menyesuaikan kebutuhan dan konteksnya masing-masing.

Dalam disiplin maqashid syariah, tingkatan maqashid dharuriyat sendiri mengandung lima nilai utama yang familiar disebut dengan dharuriyyat al-khamsah atau kulliyyat al-khamsah atau mabadi’ al-khamsah, yaitu hifdz al-din (menjaga agama), hifdz al-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-‘aql (menjaga akal), hifdz al-nasl (menjaga keturunan) dan hifdz al-mal (menjaga harta).

***

Menariknya, al-Jabiri memahami dharuriyat al-khamsah tidak seperti para ulama pada umumnya. Al-Jabiri menafsirkannya kembali dengan pandangan yang lebih segar dan lebih kontekstual.

Untuk selengkapnya, dapat diakses melalui tautan ini: Urgensi Maqashid Syariah Dalam Dialog Lintas Agama ( Perspektif Al Jabiri ) Part II.

Penulis : Idris Ahmad Rifai, Mahasiswa Doktoral Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button