Kolom

Urgensi Maqashid Syariah Dalam Dialog Lintas Agama ( Perspektif Al Jabiri ) Part II

Reinterpretasi Dharuriyat al-Khamsah

PCINU Tunisia – Menariknya, al-Jabiri memahami dharuriyat al-khamsah tidak seperti para ulama pada umumnya. Al-Jabiri menafsirkannya kembali dengan pandangan yang lebih segar dan lebih kontekstual. Pandangan ini dinilai sebagai pandangan baru yang mampu menjawab tantangan dan selaras dengan konteks di masakini.

Pertama, hifdz al-nafs (menjaga jiwa). Prinsip menjaga jiwa pada dasarnya adalah mencegah terjadinya keburukan (kaff al-adza) kepada manusia apapun bentuknya dan tak pandang bulu baik dewasa maupun anak-anak. Bentuk penjagaan ini dimulai dari hal terkecil seperti larangan menyebarkan berita bohong, tidak berkata buruk, mencaci dan seterusnya.. hingga yang terberat adalah hukuman bagi pelaku pembunuhan.

Bagi al-Jabiri, adapun hukuman nyawa dibalas dengan nyawa (qisas dalam terminologi Islam) yang berlaku dalam tiga agama samawi (Islam, Yahudi, Nasrani) adalah tidak dimaksudkan untuk balas dendam. Bukan itu tujuan utama yang diinginkan Tuhan dibalik pensyariatannya. Tetapi jauh lebih agung daripada itu, yakni untuk mengingatkan dan menyadarkan seluruh manusia bahwa membunuh orang lain berarti seperti membunuh dirinya sendiri. Namun menurutnya, di era modern ini, hukuman ini tidak harus berlaku saklek. Hukuman penjara seumur hidup bisa juga menjadi alternatif bagi berlakunya hukum qisas.

Telepas dari itu, yang terpenting adalah konsep kesadaran hifdz al-nafs harus beranjak dari sekadar menjaga eksistensi manusia menuju eksistensi Tuhan. Karena Tuhan menciptakan manusia seperti bentuk-Nya (‘ala shuratihi) dan sejatinya eksistensi Tuhan juga terepresentasikan dalam jiwa-jiwa seluruh umat manusia. Maka menyakiti manusia berarti juga menyakiti Tuhan.

Kedua, hifdz al-‘aql (menjaga akal). Menurutnya, akal terbagi dua: ‘aql mi’yari dan ‘aql adati. ‘Aql mi’yari adalah akal yang berperan untuk membedakan antara hal-hal yang nafi’ dan ghairu nafi’, mufid dan ghairu mufid, serta membedakan antara hal-hal yang mengantarkan kepada kesuksesan dan kegagalan. Hal-hal yang nafi’ itu pada dasarnya dibangun atas asas kebenaran, kejujuran, kebaikan. Sedangkan yang ghairu nafi’ adalah sebaliknya. Inilah fungsi akal yang sesungguhnya.

Namun sayangnya orang-orang di era sekarang banyak terjebak di tipe akal yang kedua, ‘aql adati. Akal adati adalah akal yang menghubungkan antara kebenaran dan kebaikan dengan kemanfaatan dan kesuksesan. Akal ini menganggap bahwa segala hal yang mengantarkan kepada kesuksesan adalah baik dan benar. Akibatnya, ia bisa menghalalkan segala cara menuju apa yang dianggapnya sukses.

Maka, dalam prinsip ini menjaga akal berarti mengembalikan fungsi akal dari ‘aql adati ke ‘aql mi’yari. Slogannya, “yang benar/kebenaran” adalah “yang bermanfaat (nafi’) atau sukses”, bukan “yang bermanfaat” berarti itulah “yang benar/kebenaran”.

Ketiga, hifdz al-nasl (menjaga keturunan). Menjaga keturunan juga merupakan prinsip penting yang disepakati oleh semua agama samawi. Sebab dengan inilah akhirnya manusia bisa dibedakan dengan hewan. Manusia tidak seperti hewan, yang bisa menikahi dan mengawini siapa saja yang mereka inginkan. Manusia memiliki batasan-batasan moral dan etika, yang bila dilanggar bisa dikenakan sanksi baik pidana ataupun sosial.

Perpaduan spirit menjaga keturunan dan kecerdasan otak manusia inilah yang melahirkan sumbangan terpenting dalam bidang keilmuan biologi dan kedokteran, seperti rakayasa genetik dan bayi tabung. Namun, menurut al-Jabiri kemajuan disiplin ini harus diimbangi dengan tetap menjaga prinsip-prinsip etika dan moral agar tidak disalahgunakan semaunya.

Keempat, hifdz al-mal (menjaga harta). Menjaga harta berarti menjaganya dari penghamburan, pemubaziran, monopoli, penyalahgunaan dan seterusnya. Semua agama samawi meyakini pada hakikatnya seluruh harta adalah milik Allah, maka semestinya kekayaan tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Melainkan agama-agama ini sepakat memerintahkan untuk membagi kekayaan yang dimiliki secara adil dengan caranya masing-masing sesuai dengan tuntutan zamannya.

Masalahnya adalah –lanjut al-Jabiri-, kita saat ini dihadapkan dengan fenomena globalisasi dimana muncul sebuah prinsip dalam ekonomi “mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, mengambil pekerja sedikit-dikitnya”. Prinsip ini telah melahirkan dampak negatif yang cukup berbahaya, yaitu pemecatan para pekerja hingga meningkatkan angka pengangguran di satu sisi atau mempekerjakan anak-anak dan wanita dengan memberikan upah yang sangat kecil di sisi lain.

Mudahnya, al-Jabiri ingin mengatakan bahwa prinsip menjaga harta juga harus terus berkembang menyesuaikan tuntutan dan permasalahan zamannya. Jangan stagnan dan terpaku pada permasalahan-permasalahan fikih klasik yang kadang tidak relevan lagi dalam konteks saat ini.

Kelima, hifdz al-din (menjaga agama). Poin ini yang menurut penulis paling menarik. Bagaimana al-Jabiri berani menempatkan prinsip menjaga agama di urutan terakhir menyelisihi pandangan jumhur ulama yang menempatkan prinsip menjaga agama pada posisi pertama dan utama, atau paling tidak di posisi kedua.

Menurutnya, adanya agama di dunia ini adalah untuk kebaikan/kemaslahatan manusia. Maka dengan paradigma ini, makna menjaga agama harus dipahami dengan menjaga keempat prinsip yang telah disebutkan sebelumnya (hifdz al-dlarurat al arba’ al-sabiqah) yaitu, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-nasl dan hifdz al-mal. Maka, yang harus dihindari adalah berlebih-lebihan dalam beragama dan ekstimisme agama. Karena kedua hal itu bisa menghilangkan peran utama agama dalam menjaga keempat prinsip di atas.

Pada prinsip terakhir ini, penulis menilai pandangan al-Jabiri melampaui zamannya. Beberapa tahun lalu penulis teringat pernah terlibat dalam perdebatan panjang dan tak ada akhirnya dalam sebuah komunitas diskusi terkait permasalahan mana yang lebih utama dan didahulukan antara menjaga agama atau menjaga jiwa. Namun, kini masalah itu terurai dan terjawab sangat gamblang dan terang benerang seterang matahari yang terbit di ufuk timur setiap paginya.

Akhirnya, al-Jabiri meyakini jika prinsip-prinsip ini bisa dipahami, dikedepankan dan diamalkan dengan baik, maka tak akan ada lagi muncul konflik dalam kehidupan beragama. Yang ada hanyalah rasa saling menghargai dan menghormati antar agama masing-masing. Karena toh agama apapun esensinya adalah mengajarkan kebaikan, kedamaian dan kemaslahatan untuk seluruh umat manusia. Dan prinsip-prinsip universal itulah yang dalam Islam disebut sebagai maqashid syariah.

***

Untuk tulisan part I bisa dibaca terlebih dahulu di tautan ini.

Penulis : Idris Ahmad Rifai, Mahasiswa Doktoral Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button