Kolom

Kritik Syaikh Thahir Bin Ashyur Terhadap Kelompok Yang Menolak Metode Qiyas Dalam Penetapan Hukum Syar’iah

PCINU Tunisia Qiyas merupakan salah satu metode ijtihad dalam hukum Islam yang digunakan untuk mengembangkan dan menerapkan hukum pada masalah yang tidak ditemukan ketetapannya secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis. Qiyas dilakukan dengan mencari analogi antara masalah yang sudah ada ketetapannya dengan masalah yang belum ada ketetapannya, berdasarkan persamaan ‘illat atau alasan hukum.

Dalam qiyas, ada beberapa unsur/rukun yang harus diperhatikan:

  1. Asal (al-ashl): Masalah yang sudah ada ketetapannya dalam Al-Quran atau Hadis.
  2. Far’ (al-far’): Masalah baru yang belum ada ketetapannya.
  3. Hukum Asal (hukm al-ashl): Ketetapan hukum yang sudah ada dalam masalah asal.
  4. ‘Illat (al-‘illah): Alasan hukum yang menjadi dasar persamaan antara masalah asal dan masalah baru.

Dalam hal ini sangat jelas betapa  pentingnya qiyas  dalam penetapan hukum Islam karena dapat membantu para fuqaha (ahli hukum)  menemukan solusi hukum untuk masalah-masalah baru yang muncul seiring perkembangan zaman. Dengan adanya qiyas, juga menjaga relevansi dan dinamisnya hukum syari’ah dalam menghadapi berbagai perubahan sosial dan budaya di sepanjang zamannya.

Namun, tetap banyak sekali kelompok yang tidak mau mengakui betapa pentingnya qiyas sebagai salah satu metode dalam penetapkan hukum syari’ah, seperti kalangan Syi’ah dan ahli Zhahiri.

Syaikh Thahir bin Ashur, salah satu ulama kontemporer yang memberikan perhatian besar terhadap metodologi hukum Islam, termasuk perihal qiyas. Dalam magnum opusnya “Maqhasid asy-Syar’iyah al-Islamiyah” menganggap, bahwa menolak qiyas sebagai salah satu sumber/metode hukum syari’ah adalah tindakan yang tidak berdasar dan menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap luasnya penelitian dan pembahasan syari’at.

Kelompok yang menolak qiyas cenderung hanya menekuni perkara-perkara juz’iyat (parsial) tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lebih luas dan kompleks dalam meneliti hukum-hukum syari’ah. Hal ini menyebabkan mereka sering kebingungan dalam mencari solusi hukum syari’ah, karena metode dan cara yang digunakan kurang kuat dan tepat dalam melihat illat dan latar belakang sebuah hukum.

Ia berpendapat, bahwa pada akhirnya mereka terpaksa melakukan qiyas tanpa mereka sadari walau tidak mau mengakuinya. Penelitian dengan cara istiqra’ (mengumpulkan dan merentetkan perkara-perkara juz’iyat) menunjukkan bahwa hukum syari’ah memiliki kesamaan jenis dari banyaknya hukum-hukum juz’iyat yang ada, didalamnya ada kerjasama/keterkaitan pada sebuah sifat atau ‘illat hukum. Sifat/illat inilah yang menjadi penghantar diketahuinya sebuah hukum yang sesuai dan serupa.

Pada dasarnya, hampir semua hukum syari’ah menerima qiyas, bahkan sangat sedikit sekali larangan terhadapnya, oleh karena itu para ulama banyak berbeda pendapat dalam proses penentuan hukum qiyas, baik dalam perihal kafarah (denda), rukhsah (keringanan) dan aturan-aturan yang mendasar, seperti syarat-syarat, sebab-sebab dan larangan-larangan sebuah syari’ah. Akan tetapi mereka juga sepakat untuk melarang qiyas dalam permasalahan-permasalahan ushulul ibadat seperti sholat lima waktu dan puasa ramadhan.

Salah satu kontribusi penting Syaikh Thahir dalam pengembangan konsep maqashid syari’ah adalah bahwa beliau menambahkan maqashid kulliyah (tujuan umum) dan maqashid ‘aliyah (tujuan lebih tinggi) dalam tinjauan permasalahan hukum. Hal ini mencakup tinjauan terhadap kemaslahatan (kebermanfaatan) dan mafsadah (kerusakan/kemudharatan), yang lebih luas dari sekadar melihat kesamaan ‘illat.

Syaikh Thahir mengusulkan agar dalam menentukan hukum, para fuqaha tidak hanya fokus pada kesamaan ‘illat tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek dan makna-makna yang lebih luas.

Pendekatan mendalam melalui qiyas ini mencakup tiga konsep penting :

  1. ‘Illat : Sifat hukum syari’ah yang menjadi dasar qiyas, misalnya mabuk dalam hukum minum khamar.
  2. Maqashid Qharibah : Tujuan yang mendekati, yaitu adanya sebuah sebab umum suatu hukum yang memiliki keterkaitan antar permasalahan berdasarkan persamaan secara konseptual, seperti kewajiban menjaga akal (hifz al-aql).
  3. Maqashid ‘Aliyah : Tujuan yang lebih tinggi dan umum, yaitu adanya sebuah sebab yang lebih umum dalam sebuah hukum yang memiliki keterkaitan antar permasalahan berdasarkan persamaan secara lebih umum atau global dan mempertimbangkan perihal maslahah dan mafsadah.

Nomor dua dan tiga di atas merupakan gagasan yang dicanangkan Ibnu Ashyur dalam ilmu maqhasid yang ia tulis. Dengan menggabungkan tinjauan ‘illat, maqashid qharibah, dan maqashid ‘aliyah, para fuqaha dapat lebih bijaksana dan tepat dalam menentukan hukum-hukum syari’ah, memastikan bahwa hukum yang ditetapkan benar-benar memenuhi tujuan syari’ah dan relevan dengan konteks zaman.

            Dari uraian di atas menunjukkan bahwa qiyas adalah salah satu  metode penting dalam ijtihad, juga membantu menjaga relevansi dan dinamika hukum syari’ah. Kritik Syaikh Thahir bin Ashur terhadap penolakan qiyas menekankan pentingnya pendekatan yang  mendalam ketika meneliti dan menetapkan hukum syari’ah. Dengan mengintegrasikan konsep maqashid syari’ah, berharap dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif, kompleks dan sesuai dengan tujuan utama syari’ah, yaitu tercapainya kemaslahatan dan terhindar dari kemudharatan.

Abbas Harahap

Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button