Kolom

Dinamika Ikhtilaf di Kalangan Fuqaha Perspektif Ibnu Khaldun dan Fadhil bin Asyhur

PCINU Tunisia – Perbedaan adalah suatu keniscayaan di dalam umat Islam, yang melahirkan dua pandangan yang saling bertolak belakang. Seseorang yang mempunyai pandangan sempit akan mudah terjebak terhadap perbedaan.

Tanpa disadari, ketertinggalan umat Islam pun tidak lain karena disibukkan dengan hal-hal parsial yang menghantarkan umat ini ke lubang kejumudan dan perselisihan yang tidak ada ujungnya. Sehingga menjadikan lalai terhadap hal-hal fundamental dalam Islam.

Sebaliknya, seseorang yang mempunyai pandangan luas, maka mustahil baginya mempunyai sifat kaku dan jumud. Karena ia akan memandang perbedaan ini sebagai peluang yang menjadi keluasan bagi umat islam untuk menjadi pribadi muslim yang baik.

Perlu diketahui, bahwasanya perbedaan hukum yang terjadi di kalangan fuqaha tidak bisa dipisahkan dari keterkaitan ijtihad dan nash. Maka, keduanya menjadi sebuah keniscayaan dalam penetapan suatu hukum, karena nash merupakan sumber otentik hukum syariah, sedangkan ijtihad merupakan hak akal manusia untuk mencari hukum dari nas yang bersifat implisit, dan juga untuk mencari hukum dari permasalahan kontemporer yang tidak disebutkan didalam nash.

Oleh karena itu, penulis ingin mengajak pembaca untuk melirik pandangan Ibnu Khaldun terhadap asal-usul sebab ikhtilaf hukum yang terjadi di kalangan fuqaha.

Sebab Perbedaan Hukum menurut Ibnu Khaldun

Dalam hal ini, Ibnu khaldun menyebutkan tiga komponen utama mengenai sebab ihwal ikhtilaf (perbedaan) umat islam dalam hukum furu’, yaitu:

Pertama, Beragamnya kandungan makna dari suatu lafadz. Kedua, Terjadinya kontradiksi di antara hadis nabi disertai dengan banyaknya metode pentarjihan. Ketiga, Beragamnya metodologi pencarian illat dalam suatu hukum.

Hal pertama tidak lain didasari karena teks itu sendiri, yang memiliki beragam makna dari sebuah kandungan lafadz. Sebagaimana telah diketahui, bahwasanya di dalam teks itu sendiri memiliki dua karakter utama :

Pertama, bersifat eksplisit (qoth’iyatu al-dalālah), yang mana tidak ada ruang di dalamnya untuk mentakwilkannya kepada makna yang lain, dan menuntut kita untuk menerima makna itu apa adanya. Sedangkan yang kedua adalah makna yang bersifat implisit (dzonniyatu al-dalalah), yang memiliki makna multitafsir.

Berangkat dari jenis kedua ini, akan menimbulkan perbedaan ulama terhadap pentakwilan sebuah makna dari teks itu sendiri. Bahkan seorang pakar Bahasa dari Andalusia, yaitu Syaikh Ibnu Sayyid Bateliyusi menyatakan bahwa akar dari perbedaaan umat Islam, baik berkaitan dengan akidah ataupun hukum furu’, itu tidak lain karena adanya suatu lafadz yang mengandung berbagai makna yang berbeda-beda sehingga menimbulkan multitafsir di berbagai kalangan ulama, sehingga mempengaruhi penetapan sebuah hukum yang dihasilkan oleh para ulama berdasarkan pemahaman mereka masing masing.

Kedua, disebabkan adanya kontradiksi di antara hadis-hadis nabi yang disertai dengan beragamnya metode tarjih dan cara pengambilan qiyas di kalangan para ulama. Sebagaimana kaidah yang ditetapkan para ulama, bahwasanya ketika ditemukan dua hadis yang saling bertentangan, maka salah satu cara untuk menemukan makna yang dikehendaki yaitu dengan melakukan pentarjihan di antara dua hadis tersebut (qiyas).

Sedangkan metode pentarjihan ini mempunyai cara yang beragam. Setiap ulama akan menggunakan metode tarjih sesuai dengan kehendak, kemampuan, dan uslub yang mereka pakai dalam pengamalan kaidah-kaidah syariat, sehingga perbedaan metode tarjih ini menimbulkan keputusan hukum yang berbeda-beda.

Yang ketiga, yaitu beragamnya metodologi pencarian illat di dalam suatu hukum. Ketika ditemukan suatu masalah kontemporer yang tidak di temukan hukumnya di dalam nash, maka hal tersebut mewajibkan bagi para ulama untuk mencari hukum melalui pencarian illat yang ada di dalam kasus tersebut, agar bisa diqiyaskan terhadap hukum yang telah disebutkan di dalam nash berdasarkan kesamaan illat yang ada. Tentu, setiap ulama memiliki kecenderungan masing-masing terhadap penggunaan metodologi yang mereka pilih dalam pencarian illat, sehingga berpengaruh terhadap perbedaaan hukum yang dihasilkan oleh para ulama.

Dari tiga sebab perbedaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebab pertama merujuk pada obyek nash itu sendiri, berupa kandungan makna dari suatu lafadz kalimat tersebut. Sedangkan sebab kedua dan ketiga, merujuk pada hasil ijtihad para ulama, yang mempunyai kemampuan, kualitas, dan pemahaman yang berbeda-beda dalam mengistinbatkan suatu hukum

Sebab Perbedaan Hukum Menurut Syekh Fadhil ibn Ashur

Menindak lanjuti hal ini, Syekh Fadhil bin Asyhur berkomentar dengan menambahkan dua sebab lain yang menjadi faktor perbedaan di antara para ulama.

Pertama, disebabkan perbedaan kecenderungan para ulama dalam berijtihad, yakni tidak dimaksudkan terhadap kecenderungan yang bersifat hawa nafsu, tetapi tabiat tertentu yang dimiliki ulama dalam pengambilan hukum. Maka sebagian mereka ada yang bersifat longgar dalam pengambilan suatu hukum, dan sebagian mereka ada yang bersifat ketat dalam pengambilan suatu hukum. Sebagaimana ketatnya Ibnu Abbas dan longgarnya Ibnu Umar.

Mengingat umat islam yang tersebar di berbagai belahan dunia, Syekh Fadhil ibn Ashur menjadikan perbedaan wilayah sebagai salah satu penyebab perbedaan hukum diantara para ulama, dengan menimbang bahwa setiap wilayah memiliki kondisi alam dan kondisi sosial yang berbeda-beda. Sehingga memunculkan hukum yang bervariasi di kalangan fuqaha sesuai dengan kemaslahatannya.

Dari paparan lima sebab diatas, hal ke-lima lah yang tidak merujuk pada konteks nash dan ijtihad. Tetapi lebih mengarah terhadap kondisi real yang sedang berlangsung di tengah masyarakat. Karena hukum fikih tidak hanya soal teks agama saja yang membuat taqklid buta, melainkan membutuhkan akal sehat dalam berijtihad dengan menimbang kemaslahatan yang ada.

Menurut hemat penulis, kematangan hukum yang berhadapan dengan banyaknya masalah kontemporer, membutuhkan keterkaitan di antara tiga bidang keilmuan yang ada, yaitu Fiqih, Usul Fiqih, dan Maqhasid Syariah. Lantas apa urgensi tiga bidang keilmuan di atas terhadap keberlangsungan hukum syariah?

Penulis: Muhammad David Ibrahim, Mahasiswa Universitas az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button