Kolom

Menilik Taqlid dalam Kacamata Syeikh al-Buthi dan Syeikh al-Albani

PCINU Tunisia – Dalam hakikatnya, taqlid merupakan pembahasan menarik yang selalu menjadi perhatian para ulama dan cendekiawan muslim. Pembahasannya pun mencakup segi filosofis, sosial, dan historis dalam perkembangan Islam. Taqlid merupakan faktor penting dalam praktik fikih islam yang menggambarkan argumentasi tentang kekuasaan hukum dalam Islam, serta bagaimana merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kata Taqlid, dalam artian etimologi mengandung makna “menghiasi, meniru, menyerahkan dan mengikuti.” Sedangkan menurut terminologi taqlid merujuk pada tindakan mengikuti pendapat ulama dan menjadikannya patokan dalam beragama tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang dalil-dalilnya dan menelaah pada sumber agama.

Perlu diketahui bahwa cara umat Islam untuk beragama tidak luput dari tiga tingkatan ini, yang pertama; Ijtihad, yaitu beragama dengan didasarkan pada dalil-dalil dan sumber hukum serta mampu mengolah dalil untuk dijadikan sebagai hukum Islam. Orang-orang yang mampu dan menguasai cara berijtihad biasa disebut mujtahid. Golongan para mujtahid yang terkenal ialah para ulama besar madzhab fiqih seperti imam Abu Hanifah, imam Malik ibn Anas, imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, dan imam Ahmad ibn Hanbal.

Lalu yang kedua; Ittiba’, yaitu cara beragama dengan memahami dalil-dalil dan sumber agama tetapi tidak bisa mengolahnya. Orang-orang ini disebut dengan muttabi’. Kemudian yang ketiga, yaitu Taqlid, yang diusung menjadi topik perbincangan kali ini.

Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan, mengikuti pendapat ulama merupakan suatu anjuran bahkan menjadi keharusan terutama bagi orang awam yang baru terjun dalam dunia Islam. Akan tetapi langkah tersebut harus diperkuat dengan pemahaman atas dalil-dalil dan sumber hukum agama Islam sehingga mereka mempunyai wawasan atas hal tersebut dan mampu berpikir logis. Hal ini akan melahirkan pemikiran yang jauh lebih terbuka dan kritis dalam mengambil keputusan yang kemudian akan membuahkan pada ketidakasalan dalam mengikuti jejak para ulama.

Fanatisme, dimanapun tempatnya akan selalu menimbulkan dampak yang negatif. Begitupun jika sikap fanatisme muncul dalam taqlid. Tidak bisa disangkal, seorang muslim yang taqlid buta terhadap seorang faqih, ia mengikuti ulama tersebut tanpa memandang ajaran Fuqoha yang lain hingga berkeyakinan bahwa apa yang ia ikuti adalah yang paling benar sedangkan yang selainnya adalah salah. Maka, akan memicu intoleransi dan gagal dalam memahami konteks. Dampak dari situasi ini akan menjerumuskannya pada keadaan dangkal agama sehingga berujung pada pengambilan tindakan yang salah bahkan ekstrem.

Lantas bagaimana dengan orang awam yang hanya mampu berpedoman dan mengikuti satu imam fikih? Lalu bagaimana dengan para muslim yang beragama dengan mengikuti satu madzhab tanpa mengikuti tiga madzhab besar fikih yang lain?

Termotivasi dari percakapan syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dari Syria dengan syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani seorang tokoh Salafi Wahabi dari Yordania dalam mengatasi masalah tersebut. Syeikh al-Buthi menyarankan untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab besar dalam fiqih karena ia berpandangan bahwa ijtihad dari empat imam ini telah lebih dari cukup untuk menguraikan prinsip-prinsip Islam kedalam kaidah yang lebih konkret yang memudahkan umat Islam dalam memahaminya.

Madzhab-madzhab fiqih ini juga memunculkan aturan salahsatunya melalui pendekatan historis dan kultural sehingga dalam pengaplikasiannya akan sesuai dengan realitas sosial dan ranah budaya tempat mereka berada. Hal ini akan lebih membantu lebih-lebih kepada orang awam yang kesusahan dalam penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pada dasarnya, hakikat terciptanya empat madzhab ini tidak lain adalah untuk memberikan keringanan dan kemudahan warga muslim dalam menjalankan ajaran agama Islam.

Tetapi uraian tersebut disanggah oleh syeikh al-Albani. Syeikh al-Albani menentang taqlid buta dan mendorong untuk kembali kepada sumber hukum (al-Qur’an dan Hadist). Ia menegaskan pentingnya mempelajari al-Quran dan Hadist secara langsung serta berijtihad dengan sumber hukum tersebut tanpa terpaku pada suatu madzhab. Ia beranggapan bahwa taqlid buta dapat menghambat pemahaman yang lebih dalam terhadap ajaran Islam.

Mendengar jawaban tersebut syeikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi membuktikan keunggulannya. Ia menqiyaskan para muqallid (orang-orang yang bertaqlid kepada mujtahid) dari madzhab Syafi’i dengan syeikh al-Albani yang hanya mengikuti qira’ah Hafs dalam membaca al-Qur’an dengan alasan tidak sempat mempelajari qira’ah yang lain serta kesulitan dalam pengamalan pelafalan bacaannya.

Dan hal tersebut terjadi pada para muqallid. Mereka mengikuti madzhab Syafi’i tetapi tidak semua sempat mempelajari madzhab yang lain. Begitupun dalam penerapannya, tidak mudah bagi mereka untuk mengikuti hukum dan aturannya.

Syeikh al-Buthi juga memperkuat argumennya dengan mengungkapkan isi buku syeikh al-Albani yang mengatakan bahwa menetapi satu madzhab saja haram hukumnya bahkan dibagian lain mengatakan hukumnya kafir.

Mendengar ulasan tersebut, syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani kebingungan dan harus menerima ketidakmampuan Muqallid dalam kasus ini.

Meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam pandangan terhadap taqlid, namun perlu dibenahi bahwa syaikh al-Buthi dan syeikh al-Albani adalah ulama besar yang dihormati dalam dunia Islam. Perbedaan mereka merupakan suatu bukti nyata adanya keberagaman dalam pendekatan permasalahan fiqih dalam Islam.

Penulis: Arifatun Nasichah, Mahasiswi S1 Universitas Az-Zaitunah Tunisia.

Editor: Nuril Najmi Kamilia S.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button