Kolom

Kritik Syekh Thahir Ibn Ashur Terhadap Kelompok Penolak Tafsir Bi al-Ro’yi Secara Mutlak

PCINU Tunisia – Tafsir bi al-ro’yi merupakan salah satu bentuk penafsiran yang mengundang kontroversial diantara para ulama, karena condongnya metode tersebut terhadap penggunaan rasio dalam menafsirkan sebuah ayat, dan sudah tidak diragukan lagi, bahwa al-Qur’an itu sendiri diyakini sebagai kitab suci yang tidak boleh dinodai terhadap kesalahan dalam penafsiranya.

Sedangkan penafsiran al-Qur’an yang hanya dibatasi dengan jalur riwayat saja, serta membiarkan rasio untuk tidak mengungkap makna al-Qur’an yang relevan dengan tuntutan zaman, maka akan melahirkan sebuah kejumudan dalam penafsirannya.

Selain perkembangan arus tuntutan zaman yang mengharuskan untuk merelevansikan penafsiran al-Qur’an, kita juga dihadapkan oleh ungkapan sebuah hadits mengenai peringatan keras terhadap penafsiran-penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan rasio. Berangkat dari Hadist ini, muncullah kelompok yang menyempitkan penafsiran al-Qur’an dengan sebatas periwayatan saja, serta menolak akal untuk campur tangan didalamnya.

Perlu diketahui, bahwasanya kata al-ro’yu itu sendiri dalam pandangan ulama mempunyai beberapa makna. Dalam kitab Tafsir wal Mufassirun karya syekh al-Dzhabi misalnya, ia menjelaskan bahwa al-ro’yu bermakna ijtihad, sedangkan tafsir bi al-ro’yi ialah salah satu metode penafsiran al-Qur’an dengan cara berijtihad menggunakan ketentuan kredibilitas pengetahuan mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an, seperti ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh wal Mansukh dll.

Berkaitan dengan hal ini, seorang ulama terkemuka dari tanah Afrika Utara yaitu Syekh Thahir Ibn Ashur mengungkapkan pandangan dan kritiknya melalui magnum opusnya, kitab Tahrir wa Tanwir. Pada awal mula pembahasannya, syekh Thahir memaparkan beberapa buah Hadist yang menjelaskan peringatan keras terhadap tafsir Qur’an bi al-ra’yi tersebut, dintaranya Hadist yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi :

“من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار”

“Barang siapa yang berkata tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, maka hendaklah Bersiap-siap menempati bagian dari neraka”

Dalam Riwayat lain dikatakan :

“من تكلم في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ”

“Barang siapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meskipun dia benar maka dia telah melakukan kesalahan”.

Menghadapi hal ini Syekh Thahir mengkritik terhadap kelompok yang memahami hadis diatas sebagai pelarangan secara mutlak terhadap tafsir Qur’an bi al-ra’yi, karena jika memaknai hadis diatas secara tekstual saja dengan artian bahwa setiap penafsiran ayat Qur’an dengan menggunakan akal itu tercela dan terlarang, maka banyak dari tafsir yang diriwayatkan sahabat dan tabi’in akan tertolak juga, karena kebanyakan riwayat mereka itu juga muncul dari pendapatnya sendiri.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghozali dan Imam Qurtubi bahwa tidak semua tafsir yang bersumber dari sahabat, itu berasal dari nabi, hal ini dibuktikan dengan adanya riwayat, bahwa Nabi tidak menafsirkan ayat al-Qur’an kecuali hanya beberapa ayat saja. Selain itu, terdapatnya multi tafsir diantara para sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an yang tidak bisa dikompromikan antara pendapat mereka.

Munculnya kelompok yang hanya membatasi pentafsiran bi al-ma’stur dengan berpegangan hadis diatas, maka Syekh Thahir mengomentari bahwa jika maksud dari tafsir bi al-ma’tsur tersebut bermakna sebuah tafsir yang diriwayatkan dari nabi saja dengan kriteria sanad yang sohih atau hasan maka akan menimbulkan penyempitan keluasan makna serta istinbat dalam al-Qur’an.

Karena, terdapat riwayat dari sayyidah Aisyah bahwasanya rosul tidak menafsirkan al-Qur’an kecuali beberapa ayat yang diajarkan oleh Jibril. Sedangkan keajaiban makna yang dikandung al-Qur’an itu tidak akan habis, dan salah satu cara untuk mengungkap keajaiban kandungan ayat tersebut, tidak lain dengan cara meluaskan penafsiran al-Qur’an itu sendiri. Jika tidak demikian, maka penafsiran Qur’an hanya sebatas lembaran-lembaran yang sedikit.

Hal ini, juga dibuktikanya bahwa penetapan hukum syar’i dari al-Qur’an pada masa awal abad ke tiga hjriah tidak lain dilakukan dengan cara penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang belum ditafsirkan pada masa sebelumnya.

Menindak lanjuti munculnya hadis terhadap peringatan keras tafsir Qur’an bi al-ro’yi, maka butuh bagi kita memahami hadis tersebut secara mendalam akan maksud dari pada Hadits itu sendiri. Tidak hanya sekedar memaknai teks dengan apa adanya.

Maka Syekh Thahir dalam Muqaddimah kitabnya, memaparkan beberapa penjelasan terkait tanggapan Hadits tersebut. Berikut ada lima penjelasan syekh Thahir mengenai Hadits diatas yaitu:

Pertama, sesungguhnya maksud dari pada kata ro’yu didalam hadis tersebut adalah penafsiran yang berasal dari suatu ide manusia dengan tanpa memandang syarat dan ketentuan yang di butuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an, seperti ilmu nasikh wal Mansukh, ilmu asbabunnuzul dll. Berangkat dari penafsiran semacam inilah, akan memunculkan kefatalan dalam penafsiranya, karena hanya mengandalkan akal yang tidak berdasarkan suatu ilmu.

Kedua, Hadits tersebut di maksudkan kepada orang yang sembrono dalam merenungkan ayat al-Qur’an, sebagaimana orang yang menafsirkan al-Qur’an tanpa memahami berbagai segi ayat-ayat al-Qur’an, dan hanya sebatas menggunakan salah satu segi dari ayat tersebut. Sebagaimana penafsiran suatu ayat yang memandang dari segi bahasa saja.

Ketiga, adanya sifat fanatisme terhadap suatu madzhab dalam mentafsirkan ayat al-Qur’an, sehingga memaksakannya untuk mendukung dan menetapkan pendapat golonganya. Sebagaimana golongan al-Mansuriyah yaitu pengikut abu Manshur al-Kisfi yang menafsirkan ayat و ان يرو كسفا من السماء ساقطا bahwa yang dimaksud dari kata kisf adalah imam pembesar mereka. Selain itu, kelompok al-Bayaniyah yang mentafsirkan ayat هذا بيان للناس dengan arti bahwa bayan pada ayat tersebut bermakna bayan bin sam’an yang merupakan pembesar golongan mereka.

Keempat, Penafsiran al-Qur’an dengan hanya memandang dari maksud arti suatu lafadz yang dikehendakinya, sehingga menimbulkan penyempitan terhadap penafsiran sebuah ayat al-Qur’an.

Kelima, yang terakhir, bahwasanya maksud dari sebuah peringatan dari Hadits tersebut ditujukan agar berhati-hati didalam mentadabburi, mentakwilkan dan menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa ulama yang sangat berhati-hati dalam menafsirkan sebuah ayat al-Qur’an dengan tidak mentafsirkan sebuah ayat kecuali didasari ilmu yang mendalam. Seperti imam Asma’i yang mana ia tidak berkenan mentafsiri sebuah ayat al-Qur’an ketika maknanya telah di jelaskan didalamnya.

Dari sini Syekh Thahir mengklasifikasikan dua macam tafsir bi al-ro’yi, pertama tafsir bi al-royi al-mamduh yaitu penafsiran Qur’an dengan cara berijtihad yang benar serta sesuai dengan ketentuan keilmuwan yang ada, dan macam inilah yang didukung syekh Thohir akan keabsahannya. Kedua tafsir qur’an bi al-ro’yi al-madzmum yaitu penafsiran Qur’an dengan tidak memenuhi ketentuan penafsiran sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

maka dapat kita simpulkan, bahwa tafsir Qur’an bi al-ro’yi tidak seutuhnya dilarang. Karena makna dari ro’yi dalam Hadits masih bersifat global dan membutuhkan penjelasan mendalam. Menurut penulis, tafsir bi al-ro’yi merupakan sebuah keniscayaan untuk menjadi jawaban dari tuntutan zaman mutaakhir. Mengingat mukjizat al-Qur’an yang tidak ada habisnya seiring berjalanya waktu dan zaman. Selain itu sudah sepantasnya bagi ulama yang berkompeten untuk mengerahkan akal dan keilmuanya dalam mengemban tanggungjawab besar ini.

Penulis: Muhammad David Ibrahim, Mahasiswa S1 Universitas az-Zaitunah

Editor: Nurul Najma Kamila H.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button