Beragama Maslahat: Pentingkah? Memangnya untuk Siapa?

PCINU Tunisia – Kehidupan manusia, disadari maupun tidak, pada dasarnya tidak dapat terlepas dari nilai-nilai spiritual dan keagamaan. Betapapun, realita ini nyatanya sering kali diabaikan oleh sementara pihak saat ini. Problematika pribadi yang menyangkut pengaturan hubungan antara sesama manusia, penyesuaian antara imaji dan kenyataan hidup, serta relasi manusia dengan kekuatan yang terletak di luar dirinya, kesemuannya tanpa disadari sejatinya telah membentuk suatu persimpangan jalan yang bersifat komprehensif dalam lingkup eksistensi kehidupan seorang manusia.
Karenanya, penulis rasa pembaca tidak perlu isykal jika sesungguhnya misi terpenting yang diusung dari kehadiran Islam sejatinya adalah tentang bagaimana membangun dan bahu-membahu bersama mewujudkan misi rahmatan lil ‘alamin atau kohesivitas antara sesama makhluk Tuhan yang ada, khususnya umat manusia itu sendiri. Meski mau tidak mau, jika diikuti dan ditilik dengan cermat, pembaca juga harus insaf dengan penuh bahwa slogan dan motto agung ini, alih-alih terealisasi, justru acapkali malah berlaku paradoksal dari yang sejatinya diharapkan publik.
Paling tidak, sejak insiden peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) 2001 yang terjadi di Amerika Serikat, profil Islam selepas itu alih-alih dianggap sebagai juru selamat bagi dunia global, justru lebih sering diidentik sebagai sinonim dari segala tindak radikalisme yang merebak secara masif sejak beberapa dekade terakhir. Sebagian umat Islam saat ini, kerap dipandang publik sebagai komunitas yang anti-keragaman, membenci perbedaan, serta gemar melakukan laku diskriminatif terhadap pengikut agama lain yang populasinya minoritas.
Puncaknya, Islam bahkan kini harus dihadapkan dengan suatu kritikan tajam yang mengindikasikan bahwa dirinya telah gagal mengambil peranan proaktif sebagai roda katalisator yang sepatutnya dapat membimbing umat untuk dapat hidup bersih dari korupsi, memiliki etos kerja tinggi, serta dapat membawa dimensi kesejahteraan dalam relasi kehidupan antar sesama komunitas yang berjibaku dengannya. Realitas semacam inilah, yang nantinya seakan menunjukkan bahwa Islam, seakan-akan telah kehilangan elan vital yang pada dasarnya inheren dan bersifat padu dalam kesatuan bangunnya.
Dalam konteks Indonesia sendiri, jika pembaca menilik dan mengamati dengan cermat serta seksama terhadap berbagai pemberitaan yang terpublikasi menyangkut diskursus ini, maka tidak diragukan lagi bahwa ihwal bangsa Indonesia, khususnya dalam aspek kehidupan beragama, saat ini tengah dihadapkan dengan ragam tantangan maha berat dalam menanggulangi rentetatan krisis laten yang terus berlangsung hingga saat ini.
Ungkapan di atas, menurut penulis, rasanya memang tidak berlebihan adanya. Mengingat bahwa sejatinya memang tidak mudah untuk mengembangkan rasa saling pengertian mendalam di tengah lingkup khalayak yang sangat heterogen dan majemuk seperti bangsa Indonesia. Tak ayal, jika tokoh bangsa seperti mantan Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid, misalnya, mengganggap bahwa sifat “saling pengertian” yang tercapai dan baru tumbuh di tengah anak bangsa, tidak lebih masih berkutat pada sifat nominal belaka. Dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai saat ini, alih-alih saling pengertian, justru lebih dekat pada kurangnya kesalahpahaman antarkhalayak belaka.
Pola hubungan maupun relasi semacam ini, menurut penulis, jika ditilik dengan cermat pada asalnya memanglah sangat rentan dan rapuh daya konstruksinya. Di mana sudah tentu kehidupan damai yang akan terselenggara, alih-alih optimal, rasa-rasanya tidak akan lebih dari sekedar sikap bertetangga yang baik, tanpa adanya rasa senasib dan sepenanggungan yang lebih antara mereka yang sejatinya masih sama-sama anak bangsa Indonesia.
Dalam konteks semacam inilah, pembaca hanya akan disuguhkan sebuah fenomena ketenangan temporal yang sewaktu-waktu dapat bermetamorfosis menjadi kebalauan yang sifatnya disruptif di kemudian hari. Tidak heran nantinya jika komunitas yang dijumpai semula santun dan ramah dalam laku keseharian, justru tiba-tiba dapat sekonyong-konyong bersikap anarkis dan intimidatif bila kepentingannya dinilai terancam oleh mereka yang notabene berlainan paham dan keyakinan teologis. Entahlah, benarkah demikian menurut pembaca?
Beragama Maslahat, Harlah NU, dan Suara Sumbangnya
Nahdlatul Ulama, sebagaimana yang pembaca sekalian ketahui, di tahun ini akan berharlah menyongsong hari jadinya yang ke-102 tahun. Memasuki abad kedua ini, NU tak hanya tampil semakin gagah mengukuhkan eksistensi dirinya sebagai gerakan keagamaan moderat yang berpijak pada doktrin Ahlussunnah wal Jamaah. Akan tetapi, di lain pihak, NU dalam edisi hari jadinya kali ini bahkan kembali hadir dengan gebrakan yang penulis nilai lebih energik dibanding edisi-edisi sebelumnya. Suatu gagasan yang membuat penulis sendiri tak berhenti “berdecak kagum” hingga tulisan ini terbit.
Harus diakui bahwa tema “Bekerja Bersama Umat untuk Indonesia Maslahat” yang diformulasikan oleh para ulama dan cendekiawan NU dalam momentum harlah kali ini, selain mengundang banyaknya atensi dan dukungan positif dari banyak khalayak dan komunitas, di lain sisi juga ikut andil “menggelitik” dan memantik berbagai kritik tajam yang terus berdatangan ke kubu organisasi “kaum sarungan” hingga tulisan penulis ini rampung.
Suatu tema yang juga tak pelak membuat penulis mau tidak mau didorong untuk mengajukan beberapa pertanyaan fundamental yang sejauh ini terus mengganjal di benak penulis. Pertanyaan yang membuat penulis secara sadar melontarkannya guna mempertanyakan kembali laku konkret dan keabsahan dari peta jalan realisasi tema ini dalam perkembangan pengalaman bernegara bangsa kita sejauh ini: Mengapa narasi “beragama maslahat” masih harus terus digaungkan hingga saat ini? Praksiskah ia atau hanya utopia belaka? Masih pentingkah posisi narasi ini bagi bangsa Indonesia? Apakah Nahdlatul Ulama adalah katalisator yang tepat untuk mengejawantahkan narasi ini? Dan kalau memang NU adalah katalisator yang tepat, bagaimana mungkin organisasi tradisionalis ini dapat mengejawantahkannya secara optimal dalam laku praksis masyarakat modern yang serba disruptif dan sangat dinamis seperti saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sejatinya tersuguhkan lewat kejemuan yang penulis kerap rasakan melalui banyaknya laku khianat elitis yang bersembunyi tangan di belakang narasi agung macam “beragama maslahat” yang seakan-akan membela masyarakat kecil ini. Hari demi hari, penulis disuguhkan narasi-narasi canggih nan meyakinkan dari mereka yang mengaku reformis, namun sejatinya sangat timpang dan jauh dari nilai-nilai dan tujuan reformatif yang dicita-citakan oleh jutaan anak bangsa Indonesia hari-hari ini. Khususnya masyarakat-masyarakat marjinal yang menurut hemat penulis harus hidup menanggung beban dari bobrok dan dungunya kebijakan-kebijakan penguasa yang alih-alih memberdayakan masyarakat, justru malah lebih sibuk memperkaya diri lewat kucuran uang haram yang mengalir ke saku-saku dan rekening tabungan mereka.
Dalam konteks semacam ini, menarik untuk dipertanyakan kembali, adakah NU benar-benar berkomitmen dengan tema yang diusungnya? Benarkah narasi yang katanya “canggih” ini dapat menyentuh akar persoalan yang dialami masyarakat, atau justru hanya akan menjadi alat legitimasi untuk kepentingan politik dan status quo bagi mereka yang duduk bercokol di puncak struktural PBNU? Entahlah, pembaca lebih berhak untuk menjawabnya!
Jika pembaca tulisan ini masih mengikuti secara masif terkait pemberitaan yang terpublikasi secara massal di media nasional dan laman-laman media sosial mainstream macam Instagram, Youtube, dan berbagai platform lainnya seputar laku NU di belantika kebijakan strategis nasional, kita akan melihat sebuah bias yang sifatnya abnormal dari narasi-narasi yang selama ini diresonansikan oleh para elite yang bercokol di posisi-posisi “basah” di tubuh kepengurusan Nahdlatul Ulama saat ini.
Dalam konteks lingkungan, misalnya, NU merupakan organisasi keagamaan yang paling masif mengampanyekan urgensitas isu-isu lingkungan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu sendiri dapat kita lihat secara jeli melalui fatwa haram membuang sampah di sungai (2019) dan gerakan “Eco-Pesantren” yang mereka gagas. Namun di sisi lain, jika ditilik lebih lanjut dalam cakupan yang lebih makro sifatnya, niscaya kita akan menemukan banyak fakta janggal yang tidak berkesesuaian dengan tema “maslahat” yang terus-menerus didengungkan secara masif belakangan ini.
Dalam praktik perusakan lingkungan yang terjadi di Madura misalnya, sejumlah kiai NU menurut laporan Walhi Jatim yang dirilis tahun 2023 lalu, didapati ikut terlibat memainkan peranan aktif sebagai perantara dari izin tambang emas ilegal yang jelas-jelas memiliki dampak yang signifikan dalam perusakan ekosistem lingkungan.
Di lain tempat, tepatnya di daerah Bojonegoro, lahan yang diklaim oleh korporasi sawit sebagai “lahan tidak produktif” justru digarap secara paksa untuk kebutuhan perkebunan monokultur yang sejatinya menyengasarakan para petani daerah. Tindakan keji yang pilunya justru mendapat pelukan hangat dari beberapa elite lokal NU yang bermukim di sana. Alih-alih membusungkan dada membela hak-hak petani miskin yang tertindas, para elite tersebut justru lebih bergairah untuk mencicipi kucuran dana “basah” yang ditebar oleh korporasi tamak yang hanya dapat berpikir parsial demi keuntungan pribadi diri mereka sendiri.
Data yang penulis kutip dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022) menyatakan bahwa ada lebih dari 60% konflik agraria di Provinsi Jawa Timur justru melibatkan tokoh agama sebagai mediator yang cenderung berpihak kepada segelintir “pemodal” yang memang menguntungkan mereka belaka. Segala potret kepiluan ini semakin diperparah dengan insiden yang terpotret secara konkret di Karawang tiga tahun lalu, di mana Banser yang notabene adalah sayap paramiliter NU, justru dengan “lugunya” bersedia dikontrak korporasi untuk membubarkan massa buruh yang menuntut kelayakan upah yang menjadi hak mereka.
Puncak dari semua kebobrokan ini, sudah tentu akan terlihat secara jeli melalui narasi politik “maslahat” yang sejatinya tidak lebih dari bualan politik identitas untuk melanggengkan ambisi politik para elite belaka. Dalih “menjaga persatuan” yang menyeruak di masyarakat, menurut penulis, tidak lebih dari slogan picisan untuk memuluskan transaksi jabatan dan proyek anggaran gelap yang terjalin mesra di tengah kalangan elite saat ini.
Pada peringatan hari jadi NU yang ke-102 ini, muncul semacam harapan dari publik agar para pemangku amanat yang duduk di PBNU mampu menentukan secara tepat duduk makna “maslahat” yang ingin mereka tuju sebenarnya. Jika NU memang serius dengan konsep “beragama bermaslahat”, maka ia harus berani merevisi paradigma yang selama ini nyatanya masih jauh timpang dari realita. Kemaslahatan harus didefinisikan ulang sebagai upaya membela kelompok marjinal. Tanpa keberpihakan yang jelas, “maslahat” yang didengungkan tidak akan lebih dari sekedar suara sumbang bagi masyarakat yang letih mengharap keadilan.
Penulis: Abrar Azizi
Editor: Abbas Hamonangan Harahap