Kolom

Kontekstualisasi Sufisme di Era Modern

PCINU Tunisia – Peradaban Islam akhir-akhir ini tengah menjalankan proyek modernisme, dimana penekanan individualisme, rasionalisme dan empirisme serta sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan menjadi salah satu ciri masyaratkatnya yang paling menonjol. Harus kita akui bahwa, modernisme telah memacu perkembangan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Namun pada saat yang sama, modernisme membawa manusia memasuki masa-masa krisis, Hal ini ditandai dengan fenomena perilaku dan juga pola pikir manusia yang semakin jauh dari eksistensi kemanusian. Nilai-nilai kemanusiaan telah banyak diabadikan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Supremasi rasionalisme, empirisme dan pragmatisme telah muncul ke permukaan bumi ini, seraya dianggap telah berhasil menggeser dogmatisme agama.

Dengan didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam semesta. Realitas alam semesta menurut doktrin-doktrin agama selalu berkaitan dengan metafisika dan kekuasaan Sang Pencipta, bahkan diluar nalar logika manusia. Kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan.

Akibatnya, kehidupan masyarakat modern menjadi kehilangan salah satu aspek yang sangat fundamental yaitu aspek spiritual. Sehingga, manusia lupa akan eksistensi dirinya sebagai seorang hamba dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, karena mereka sudah terputus dari akar-akar spiritualitas.

“Neo-Sufisme” Nurcholis Madjid

Terkait hal tersebut, Nurcholish Madjid, seorang tokoh intelektual muslim modernis, memberi perhatian tinggi terhadap permasalahan yang terjadi. Ia bahkan memiliki pandangan baru terkait ajaran tasawuf di tengah maraknya modernitas.

Nurcholish Madjid menganggap bahwa, tasawuf merupakan inti sari keagamaan yang bersifat esoteris, berarti masih akan tetap relevan dalam konteks kemodernan. Maka dari itu, kita harus memahami dengan baik konsep ajaran dan tradisi sufisme sehingga tidak terjadi penyelewengan dari al-Qur’an dan Hadist.

Sufisme tidak harus terkekang dalam teks-teks kuno yang diwariskan oleh tokoh-tokoh sufi terdahulu. Karena seiring dengan perkembangannya, sufisme tradisional juga dipengaruhi oleh unsur-unsur asing. Maka dari itu, sufisme perlu dipahami secara kontekstual namun tetap terjaga kemurniannya.

Sebagai bentuk pembaharuan terhadap ajaran tasawuf tradisional, Nurcholish Madjid menawarkan sebuah konsep sufisme baru yang disebut dengan “neo-sufisme”.

Perlunya Rekonstruksi Tasawuf Sosial

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, tasawuf merupakan salah satu cabang ilmu Islam yang memfokuskan dimensi spiritual dari ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang jasmaninya.

Dalam kenyataannya, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana, sedangkan dalam pemahamannya ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterik, yang artinya lebih memfokuskan rohani ketimbang jasmaninya.

Karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual.

Ajaran tasawuf dapat dilaksanakan dengan cara individual ataupun kolektif. Melaksanakan tasawuf secara individual yaitu dengan cara mengamalkan sikap-sikap sufistik, diantaranya seperti takwa, tawakal, sabar, syukur, ikhlas, qona’ah, dan lain sebagainya.

Sedangkan mengamalkan tasawuf secara kolektif atau berjama’ah melalui tali persaudaraan sufi yang disebut dengan tarekat.

Namun, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa, setiap ajaran esoterik (batin) tentu memiliki sikap eksklusif atau tidak semua orang dapat mencapainya. Karena itu, seringkali ajaran tasawuf dapat menimbulkan kesalahpahaman di tengah-tengah masyarakat awam. Maka penting sekali, jika seseorang ingin menempuh jalan tasawuf dibutuhkan dengan adanya guru mursyid atau pembimbing dalam bertarekat.

Gerakan pembaruan dan pemurnian juga terjadi di dalam dunia tasawuf atau sufisme. Dalam konteks kemodernan, menurut Nurcholis, setidaknya ada dua istilah yang biasa dilekatkan kepada paham sufisme baru sebagai pemurnian ajaran Islam. Diantaranya, pertama, terminologi “neo-sufisme” yang dimunculkan pertama kali oleh pemikir muslim kontemporer Fazlur Rahman. Kedua, istilah yang dipopulerkan oleh pemikir Islam Indonesia prof. Hamka dengan sebutan “tasawuf modern”.

Neo-Sufisme, Kesalihan Individu dan Sosial

Nurcholish Madjid mencoba untuk merekonstruksi pemikiran sufisme tradisional yang hanya memfokuskan pada pendekatan esoterik (bathiniyah) kepada tataran sosial.

Jika tasawuf dipahami hanya berfokus kepada bathiniyah saja, tanpa memperhatikan aspek sosial, akan berdampak pada kepincangan aktualisasi nilai-nilai Islam. Karena lebih mengutamakan aspek rohaninya saja dan kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya.

Wajar saja apabila dalam penampilannya, kaum sufi terdahulu tidak tertarik untuk memikirkan masalah-masalah sosial kemasyarakatan, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi agama.

Sementara itu, sufisme baru menekankan pada motif moral dan penerapan metode dzikir yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Artinya, konsentrasi itu disejajarkan dengan doktrin salafi dan bertujuan untuk meneguhkan keimanan serta aqidah yang benar.

Konsep yang disebut sebagai sufisme baru (neo-sufisme) ini cenderung untuk menghidupkan kembali aktifisme salafi dan menanamkan sikap positif kepada dunia.

Jika kita telusuri lebih mendalam akan tradisi awal sufisme, rasanya sulit untuk memastikan kapan tepatnya muncul tradisi ini. Terlebih jika kita maknai tasawuf sebagai cara atau jalan yang condong kepada aspek esoterik atau bathiniyah yang tujuannya untuk selalu dekat kepada Allah SWT (al-Haqq)”. Sebab, sejak manusia menyadari hubungannya dengan Yang Maha Benar (al-Haqq) maka ia terus mencari kebenarannya.

Dalam ajaran tasawuf kita mengenal dengan istilah uzlah atau mengasingkan diri, sebagaimana yang telah diajarkan dan dilakukan oleh kaum sufi terdahulu, dimana seseorang melakukannya tidak semata-mata hendak melepaskan diri dari kenyataan hidup dan tidak ingin tahu segala permasalahan yang terjadi di masyarakat.

Karena itu, uzlah pernah menjadi sasaran kritik kaum modernis, seperti Buya Hamka, karena uzlah yang demikian dapat menjadi alasan bagi kepasifan dan tidak peduli terhadap tatanan sosial.

Menurut Nurcholish Madjid, uzlah barangkali masih bisa dibenarkan, karena kita sulit menilai suatu masalah secara jujur dan objektif, jika kita sendiri terlibat dalam masalah itu. Keterlibatan kita tentu mempengaruhi pandangan dan penilaian kita terhadap sesuatu, sehingga sering terjadi kekeliruan.

Tetapi uzlah yang dimaksud Nurcholish adalah sebatas pengasingan diri yang digunakan untuk tadabbur (merenung) dan tafakkur (berfikir). Artinya, tetap tidak menutup diri dari perkembangan zaman dan peradaban manusia, justru sangat menekankan pentingnya pelibatan diri dalam masyarakat secara intensif.

Sufisme baru menolak terhadap palsunya hidup spiritualisme pasif dan isolatif (i’tizaliyah). Inti dari ajaran spiritualisme sosial yaitu terdapat suatu nilai yang disebut dengan nilai tawazun (keseimbangan) dan itu sangat sesuai dengan prinsip yang telah Allah SWT firmankan di dalam al-Qur’an:

Langit Ia tinggikan dan diadakannya neraca (keadilan), supaya jangan kamu lampaui batas timbangan itu.” (QS. Al-Rahman: 7-8)

Jika kita perhatikan ayat di atas, prinsip keseimbangan berkaitan erat dengan penciptaan langit. Kita pun tahu bahwa, prinsip keseimbangan adalah hukum Allah SWT untuk seluruh jagat raya, sehingga melanggar prinsip keseimbangan merupakan suatu dosa kosmis, karena melanggar hukum yang menguasai jagat raya.

Kemudian Nurcholish menegaskan, kalau manusia disebut sebagai “jagat kecil”, maka tidak terkecuali, manusia pun harus memiliki dan memelihara prinsip keseimbangan dalam dirinya, termasuk dalam kehidupan spiritualnya.

Sampai disini dapat kita pahami bahwa, istilah “neo-sufisme” atau “tasawuf modern” adalah sufisme yang telah diperbaharui dan direkonstruksi jalan pemikirannya agar tetap relevan di era modern.

Jika kita tengok kembali keberhasilan sufisme dahulu, aspek yang paling mendominasi adalah sifat ekstatik, metafisis, dan kandungan mistis-filosofis, maka pada sufisme baru ini digantikan dengan prinsip nilai ajaran Islam.

Sufisme baru ini lebih menekankan kepada rekonstruksi sosio-moral masyarakat Muslim, sedangkan sufisme terdahulu lebih bersifat individual bahkan hampir tidak melibatkan diri dalam hal-hal kemasyarakatan.

Oleh karena itu, karakter atau salah satu tujuan dari sufisme baru ini adalah membersihkan ajaran tasawuf dari unsur-unsur yang dianggap bid’ah dan menyimpang, sekaligus mengintegrasikannya ajaran Islam, termasuk teologi dan syari’at. Hal ini juga merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran tasawuf falsafi yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Pada zaman walisongo di Indonesia, ajaran tasawuf mempunyai peranan penting dalam proses Islamisasi dengan melalui pendekatan sufistik. Maka dari itu, sufisme merupakan teknik atau cara pembebasan manusia dari perangkap materialistik manusia modern dalam melakukan tindakan sosial di masyarakat.

Cara hidup sufi melakukan semua tindakan itu sebagai cara pencapaian taraf kehidupan lebih luhur dan manusiawi dalam tatanan keilahian.

Dapat kita simpulkan bahwa, tasawuf jika kita pahami lebih jauh dapat mewarnai dari segala aspek, baik itu aktivitas yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.

Tasawuf berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasai yang mengarah kepada dekadensi moral dan anomali nilai-nilai, sehingga tasawuf akan mengahantarakan manusia pada tercapainya supreme moralitiy (keunggulan moral).

Tasawuf juga mempunyai relevansi dalam kemodernan, karena tasawuf secara imbang telah memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’at dengan bersamaan. Dan hal itu, mampu diamalkan oleh setiap Muslim, dari kalangan mana pun dan di tempat mana pun.

Penulis : Fadhillah Irsyad, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia dan Koordinator LESBUMI PCINU Tunisia.

Editor : Nuril Najmi Kamilia Suganda

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button