Kolom

Menilik Pandangan Gus Dur: Perlukah Sistem Pemerintahan Islam di Indonesia?

PCINU Tunisia – Dalam sejarah ekspedisi Indonesia, Indonesia selalu dikaitkan dari peran agama dan nasionalisme dalam membentuk identitas bangsa. Sejak awal kemerdekaan, tata demokrasi dibangun oleh para pendiri bangsa dengan menetapkan dasar-dasar demokrasi yang mengacu pada nilai-nilai Pancasila.

Namun dalam perjalanannya, seringkali menghadapi tantangan dan perdebatan dalam demokrasi, Islam dan nasionalisme. Adapun Salah satu tokoh yang menyalurkan pemikiran mendalam terkait dengan isu ini ialah K.H Abdurrahman Wahid atau kerap kali di sapaan Gus dur. Ia menekankan bahwa nilai-nilai Islam dapat dipadukan melewati kerangka Pancasila.

Ditengah proses demokratisasi Indonesia yang terus mengalami evolusi dan tantangan, muncullah sebuah pertanyaan mengenai perlukah tatanan sistem Islam untuk kehidupan bernegara?

Perbedaan pandangan

Dalam diskursus mengenai hubungan antara Islam dan negara, terdapat ragam pemahaman dalam lingkungan umat Islam tentang seberapa jauh ajaran Islam harus diintegrasikan dalam tata kenegaraan. Seperti halnya perdebatan yang mengakar pada penafsiran ayat Al-Qur’an  “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh” (QS Al-Baqarah [2]: 208). Ayat ini menjadi pemicu diskusi yang mengarah pada interpretasi Al-Silmi.

Oleh karenanya, terdapat interpretasi formal yang merupakan  pandangan sebagian umat Islam dan menganggap bahwa “Al-silmi” mendorong adanya sistem pemerintahan  yang secara resmi mengadopsi ajaran Islam. Mereka yang mendukung ini cenderung berambisi untuk mendirikan negara Islam atau partai politik yang berbasis ajaran Islam.

Akan tetapi, Gus dur berpendapat bahwa aspirasi ini dapat menimbulkan deskriminasi terhadap warga non-muslim dan menumbuhkan ketidakadilan sosial dan pemikiran Gusdur ini selaras dengan M. Amien Rais yang berbicara betapa pentingnya menghormati hak-hak semua warga negara, termasuk non-Muslim.

Sebaliknya, ada pandangan yang menafsirkan Al-Silmi sebagai kedamaian dalam ruang universal, yang tidak memerlukan formalitas terkait negara atau sistem Islami. Pandangan ini menekankan akan implementasi nilai-nilai Islam yang mencakup etika dan moral pribadi.

Dalam hal itu, Gus dur mendukung penuh dalam pandangan yang lebih inklusif, dimana ajaran Islam dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa bergantung pada struktur pemerintahan resmi. Pandangan ini juga sebagai instrumen penghormatan terhadap pluralitas dalam kehidupan kenegaraan. Dengan demikian Gus dur mengungkapkan bahwa tidak adanya keharusan mengaktualisasikan negara Islam atau sistem Islami. Menurutnya Islam dapat dipraktikkan secara personal dan kolektif tanpa harus mengadopsi menjadi sistem negara.

Korelasi Antara Demokratisasi dan Islam

Dalam hal ini, Indonesia pada tanggal 22 juni 1945 merumuskan Piagam Jakarta yang didalamnya tersusun dasar negara dan nilai-nilai Islam yang kuat, salah satunya ialah sila pertama yang berisi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” sila tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk mewujudkan konsensus diantara beberapa kelompok dan mencegah kemungkinan konflik. Oleh karena itu, adanya piagam jakarta menjadi pemicu kebuntuan dalam gerakan Islam di indonesia setelah dihentikannya tuntunan untuk mendirikan negara Islam.

Perubahan tersebut mencerminkan ketidakstabilan politik dan sosial yang beragam, dimana usaha menyatukan aspirasi dan keyakinan menjadi tantangan dalam membangun negara yang demokratis dan pluralis. Pancasila, di adopsi sebagai ideologi negara, menjadi jalan yang harus dipijak oleh gerakan Islam di Indonesia untuk beradaptasi dan berkontribusi dalam kehidupan bernegara.

Disamping itu, gerakan Islam pasca piagam Jakarta, Gus dur berupaya mendorong umat Islam agar beradaptasi dengan kondisi sosial dan politik yang ada, begitu juga menerima terhadap pancasila sebagai ideologi negara. Ia berpendapat bahwa dengan memanfaatkan pancasila sebagai titik temu, gerakan Islam dapat memainkan peran dengan konstruktif dalam proses demokratisasi dengan cara yang inklusif. Dengan itu gerakan Islam dapat menopang prinsip-prinsip demokrasi tanpa harus terjebak dalam suasana yang hanya menguntungkan umat Islam saja.

Dengan demikian, pemikiran Gus dur memberi fondasi untuk dialog dan Kolaborasi antara demokratisasi Indonesia dengan Islam. Ia pun mendorong umat supaya melihat nilai-nilai kemanusiaan untuk menggapai tujuan bersama dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis.

Nasionalisme dan Identitas keagamaan

Nasionalisme merupakan paham yang menjunjung tinggi rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa sendiri. Semangat ini menjalin setiap individu dalam suatu negara untuk bersatu guna kemajuan dan kedaulatan. Terdapat pemikiran Al-Maududi dan Gus Dur perihal nasionalisme dan identitas keagamaan sosial-politik. Dengan perspektif yang berbeda, meskipun keduanya berfokus pada hubungan antara Islam konteks sosial-politik.

Dalam hal ini, Al-Maududi menolak nasionalisme karna Ia beranggapan dengan merealisasikan nasionalisme sebagai ideologi, dapat bertentangan dengan Islam dan seringkali nasionalisme mengutamakann loyalitas terhadap negara dan budaya nasional sehingga mengesampingkan identitas agama yang lebih luas.

Menurutnya, nasionalisme adalah ideologi Barat yang dapat menimbulkan eksklusivisme dan perselisihan. Ia lebih memilih lebih memilih sistem pemerintahan berdasarkan hukum Islam dengan kedaulatan Tuhan.

Disisi lain, Gus dur memiliki pendekatan lebih inklusif terhadap nasionalisme, Ia meyakini bahwa Indonesia negara yang majemuk harus menghargai keberagaman agama dan budaya. Ia percaya bahwa nasionalisme dan identitas Islam dapat beriringan, dengan konsep Islam Nusantara yang menyelaraskan ajaran Islam dengan budaya lokal.

Maka, perdebatan mengenai keharusan adanya sistem pemerintahan Islam masih berlanjut hingga saat ini. Bahkan, pada 11-12 september 2024 di jakarta mengadakan acara konferensi “Islamic Leaders Conference 2024” yang bertujuan untuk membahas peran kepemimpinan dalam Islam dan bagaimana nilai-nilai Islam dapat diterapkan untuk mempromosikan kemakmuran nasional.

Meski demikian, pemikiran Gus dur tidak diharuskan mendirikan negara Islam atau menerapkan sistem Islam secara resmi. Karena baginya, fokus utama adalah menjalankan nilai-nilai Islam secara universal dalam konteks kehidupan masyarakat dan negara, tanpa terperangkap pada bentuk sistem pemerintahan yang terlalu terikat.

Penulis: Nala Hikmah Al Rahmah, Mahasiswi S1 Universitas az-Zaitunah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button