KolomKegiatan

Meneladani Nyai Sholihah binti KH Bishri Syansuri, Ibu Para Pejuang NU

PCINU Tunisia – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tunisia menggelar kegiatan rutinan malam jum’at dengan membaca Maulid Nabi Muhammad SAW dan seminar ilmiah bertemakan tentang “Meneladani Nyai Sholihah binti KH Bishri Syansuri, Ibu Para Pejuang NU” yang dipresentasikan oleh Siska, Lc. Mahasiswi S2 Universitas Az-Zaitunah, Tunisia, Kamis (26/09) di Sekretariat PCINU Tunisia.

Acara tersebut juga dimoderatori oleh Qotrunnada Sofy Maulidya, Sekretaris Lakpesdam PCINU Tunisia. Siska, sebagai pemateri pada seminar kali ini memulai dengan memaparkan sekilas profil Nyai Sholihah.

Dalam pemaparannya, bahwa Nyai Sholihah lahir di Jombang 11 Oktober 1922 M, merupakan putri dari KH. Bishri Syansuri, seorang Kiai sekaligus pendiri pondok pesantren di Jombang. Ibunya adalah Nyai Chadijah, adik dari KH. Wahab Hasbullah. Adapun nama kecilnya adalah Munawaroh atau biasa dipanggil Neng Waroh.

Kemudian, Siska menerangkan perjalanan hidup Nyai Sholihah dengan membaginya menjadi tiga fase:

Fase pertama, adalah masa kecil dan remaja yang ia habiskan di Denanyar, Jombang, tepatnya di pesantren Manbaul Ma’arif, dididik langsung oleh ayahnya tentang berbagai ilmu keagamaan dan bahasa Arab.

Pada fase kedua, iapun menikah dengan KH Wahid Hasyim, pahlawan nasional Indonesia pada tahun 1938 M, tepat hari jumat 10 Syawal 1356 H. Selang beberapa tahun, pada tanggal 24 Oktober 1943 M, KH Wahid ditunjuk sebagai wakil ketua Majelis Syuro, sehingga menyebabkan sholihah bersama anak-anaknya pindah ikut suami ke Jakarta. Pada fase ini Nyai Shalihah seringkali ditinggal suami, karena banyaknya tugas yang diemban.

Fase ketiga, adalah fase tersedih beliau setelah banyaknya kesulitan-kesulitan yang ia hadapi, mulai di tingggal suami, menjaga dan mendidik anak, pindah-pindah tempat dan lain sebagainya, dukapun menyelimuti Nyai Sholihah, tepat pada tanggal 18 April 1953 M suaminya wafat. Namun, Nyai Sholihah masih berdidri kokoh dan tetap semangat melanjutkan hidupnya di Jakarta bersama anak-anaknya.

Selama hidupnya, beliau juga ternyata banyak berkiprah di berbagai organisasi dan politik, seperti FUJINKAI, sebuah organisasi atau perkumpulan wanita yang juga diberi latihan militer sederhana oleh Jepang pada tahun 1943. NOM, ketua Muslimat NU Jakarta, DPRD Jakarta bahkan sempat menjadi anggota DPR/MPR (mewakili NU) pada tahun 1971.

Dibalik berbagai kesibukan yang ia ikuti, tertanam sebuah tarekat yang selalu ia amalkan.

Setiap Butiran Beras, Penuh Dengan Shalawat

Konon katanya, Nyai Sholihah ini biasanya memilih dan memilah sendiri biji-biji beras dari karungnya. Kemudian mengambil sedikit yang terbaik, lalu dipisahkan dari yang kebanyakan. Sembari memunguti beras, ia melafalkan shalawat, yang nantinya dimasak dan dihidangkan untuk keluarga dan anak-anaknya di setiap hari.

Bahkan, beras yang telah dimasak Nyai Sholihah menjadi nasi ini tidak boleh disentuh. Menurutnya, harus diawali oleh sentuhan ayahnya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’Ari atau suaminya, KH Wahid Hasyim.

Akhirnya, pada 9 juli 1994 M, Nyai Sholihah pun wafat di usia 72 tahun. Beliau adalah sosok perempuan yang memang benar-benar memiliki kepribadian yang tangguh. Melihat bagaimana cara ia menghadapi hidup dalam mengurusi anak-anaknya seorang diri.

Tak heran jika kini anak-anaknya dapat tumbuh menjadi sosok yang sukses dan dikenal bangsa. Misalnya Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), anak pertamanya yang sampai saat ini memiliki pengaruh besar dan masih dikenang bangsa terkhusus melalui gagasan-gagasan dan pikiran beliau yang tertulis.

Siska, sebagai pemateri mengajak para warga Nahdliyyin untuk meneladani perjalanan hidup Nyai Sholihah. Menurutnya, ada empat poin yang patut dicontoh dalam kehidupan seseorang:

Pertama, seorang santri, khsusnya perempuan tidaklah melulu tentang salaf, turos, jumud dan saklek, tetapi juga harus mampu bereksistensi dalam dunia organisasi besar dan politik.

Kedua, Memanfaatkan peluang dan potensi sebagai label penguasa domestik, sebagaimana umumnya bahwa seorang perempuan selalau dilabelin dengan pekerja dapur, kasur dan sumur.

Ketiga, Nasyr al-‘Ilmi , menyebarkan ilmu kebergbagai lapisan masyarat, namun tetap komitmen menjadi madrsatul ula bagi anak-anaknya.

Keempat, bermanfaat untuk semua golongan manusia tanpa pilih kasih dan pamrih, baik dari golongan miskin, fakir sampai kaya sekalipun.”

Qathrunnada Sofy Maulidya, sebagai moderator turut menambahkan, bahwa perempuan itu adalah madrasah pertama untuk anak-anaknya, dibalik seorang laki-laki hebat, ada perempuan yang jauh lebih hebat.

Acara berlangsung dengan khidmat, mulai dari pembacaan shalawat, seminar ilmiah, kemudian ditutup dengan ramah tamah.

Penulis : Abbas Hamonangan Harahap, Mahasiswa S1 Universitas Az-Zaitunah, Tunisia

Abbas Harahap

Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button